Ilustrator : Aulia Silmi*
Oleh
: Gadis*
Pagi
itu aku masih menemani ibu yang sedang sakit di kamarnya. Padahal mentari sudah
menampakkan ronanya dari ufuk timur. Waktu menunjukkan pukul 06.00. Biasanya
sehabis salat subuh aku langsung membuat sarapan lalu menyuapi ibu. Baru habis
itu aku menyapu, mandi, dan bersiap pergi ke sekolah. Akan tetapi pagi itu
sangat enggan beranjak dari kamar ibu. Rasanya aku ingin sekali menemaninya
sehari penuh. Kurasa ada yang berbeda dari hari sebelumnya. Terlihat ibu yang
sedang menatapku dengan mata yang berkaca-kaca, seraya menyuruhku untuk mandi
dan pergi ke sekolah. Dengan berat hati, aku melangkahkan kaki keluar dari
kamar dan bersiap diri untuk berangkat sekolah. Firasatku tidak enak, ketika
aku berpamitan dan mencium tangan ibu lalu kupandangi wajahnya yang pucat itu.
Sesampainya
di sekolah aku hanya berdiam diri, melamun dan pikiranku hanya tertuju pada ibu
yang terbaring lemah di rumah. Meski teman-temanku berusaha menghiburku dan
mengajakku ke kantin, aku sama sekali tidak peduli dengan ajakan mereka.
Tiba-tiba bel berdering, tanda jam pelajaran akan segera dimulai. Hari itu jam
pertama adalah olahraga. Semua temanku asik bermain di lapangan. Lain denganku
yang hanya berdiam diri di bawah pohon besar. Saat itu aku benar-benar khawatir
dengan keadaan ibu yang sedang sakit. Begitupun seterusnya yang kurasakan
sampai jam pulang sekolah.
Tiba
saatnya bel pulang sekolah, ini adalah hal yang kutunggu-tunggu sejak tadi. Aku
ingin segera bertemu ibu. Seperti biasanya, aku menunggu jemputan di depan
sekolah. Siang itu kulihat kiri kanan tak ada tanda-tanda salah satu dari
keluargaku menjemputku. Rasa gelisahku sudah tak terbendung lagi. Ketika hendak
pulang dengan jalan kaki, terlihat dari arah barat kakekku menjemput dengan
sepeda motor bututnya. Tanpa banyak bicara aku langsung naik ke sepeda motor. Di
tengah perjalanan, kakek mengatakan bahwa kondisi ibu semakin parah.
Penyakitnya kumat dan meminta ingin segera bertemu denganku. Mendengar hal itu,
aku langsung menyuruh kakek untuk menaikkan kecepatan.
Sesampainya
di rumah, kulihat omku dan istrinya sedang menangis di teras rumah. Selain itu
juga banyak tetanggaku yang berkumpul di ruang tamu. Dengan tergesa-gesa segera
kuhampiri ibu di kamar. Kulihat ibu sudah terbaring lemah dan tak berdaya di
atas kasur. Wajahnya semakin pucat, rambutnya rontok, dan bau khas kankernya
itu sangat menyengat. Tangisku mulai pecah, kupeluk ibu dan berusaha
membisikkan padanya bahwa aku telah berada di sampingnya.
"Ibuu....
bangun, aku sudah datang. Lihat ibu lihat aku." Ujarku pada ibu yang sudah
diam membatu. Namun tidak ada respon darinya.
Tak
lama kemudian, seorang ustadzah datang menghampiriku dan menyuruhku untuk
membisikkan dua kalimat syahadat dan dzikir. Kudekatkan wajahku pada telinga
ibu sembari mengucap dua kalimat syahadat. Tiba-tiba ibu meneteskan air
matanya. Dia menangis, dan bola matanya melirik padaku yang duduk di sampingnya.
Suasana mulai hening ketika ibu menangis, tubuhnya semakin dingin dan gemetar.
Diriku seakan-akan tak dapat berkata apa lagi. Suaraku telah habis karena
sedari tadi menangis. Kini aku hanya pasrah. Aku hanya menggenggam tangan ibu
dan memeluknya erat. Nafas ibuku mulai terengah-engah, mulutnya terbuka
seolah-olah ingin menyampaikan sesuatu namun tak jelas apa yang diucapkan.
Kakakku memanggil kakek dan memintanya untuk melafazkan adzan. Selesai kakek adzan,
ibuku menghembuskan nafas terakhirnya. Kami semua hanya bisa menangis dan harus
menerima keadaan yang ada. Kakakku meminta agar aku segera wudhu dan mengaji
untuk ibu.
Sehabis
mengaji dan memandikan jenazah, aku diminta untuk memasangkan kain kafan. Namun
aku menolak, aku tidak tega melihat ibu yang sudah tiada. Wajahnya masih
terlihat cantik. Ibuku meninggal dalam keadaan senyum, bibirnya seakan-akan
mengisyratkan agar aku tetap kuat menerima kepergiannya. Kupandangi, dan
pikiranku kembali pada masa-masa dimana semua kegiatanku selama 13 tahun
bersama ibu. Namun itu semua kurasa kurang. Aku masih belum sempat
membahagiakannya.
Hari
demi hari kulewati, tujuh hari setelah kepergian ibu rasanya suasana rumah
semakin sunyi. Tak ada lagi canda tawa yang menghiasi. Biasanya setiap pagi,
ibulah yang membangunkanku dan hal yang paling kuingat adalah ketika ia
berteriak dari dapur dan mencipratkanku air karena aku tak kunjung bangun. Heheh
aku rindu, aku rindu dengan ibu. Dulu ketika ibu masih ada, kakakku sudah
sering memperlakukan aku dengan kasar. Terlintas di benakku, apakah setelah ibu
tiada dia akan merubah sikapnya? Ahh aku rasa dia pasti berubah. Karena
aku yakin dia paham posisiku.
Semakin
lama, memang kesedihanku mulai berkurang. Aku mulai membangun semangat hidup
baru. Aku sangat yakin meski ibu tak lagi ada di sampingku, namun dia menjagaku
dari kejauhan sana. Aku harus kuat, aku tidak boleh lemah, aku tidak mau
terlihat lemah di mata orang lain. Hatiku boleh menjerit dan menangis, namun
ragaku tak boleh terlihat layu. Ketika aku beranjak naik ke kelas IX , hidupku
mulai dihantui kesedihan lagi. Bagaimana tidak, siapa yang tak akan merasa
tersiksa jika setiap hari harus hidup dalam drama yang menyiksa diri.
Sebenarnya hal ini sangat menyiksa batinku. Namun karena sudah terbiasa aku
menjalaninya, seolah-olah jiwa dan ragaku sudah kuat meski berkali-kali
ditempa.
Orang
yang aku sayangi telah pergi jauh meninggalkanku. Ibu permata hatiku kini sudah
tenang di alam sana. Sosok ayah tak kan aku temui lagi. Karena aku berada jauh
darinya. Mungkin dia sudah senang dengan keluarga barunya di sana. Dan dia tak
akan pernah tahu bagaimana posisiku di sini. Perhatian dari kakakku sangat aku
harapkan. Terutama kasih sayangnya. Di sini aku hanya berharap dia akan
mencurahkan segala kasih sayangnya padaku. Sayangnya, semua harapanku sirna.
Semenjak kedatangan kekasihnya, dia semakin melunjak. Aku tidak paham dengan
perubahan sikapnya. Apalagi otakku sudah penuh dengan masalah-masalah lain yang
terjadi di dalam kehidupan keluargaku. Entah itu berasal dari kakek yang selalu
mengistimewakan kakakku ketimbang diriku, ataukah dari istri omku yang selalu
saja mencari-cari kesalahanku.
Saat
pengambilan rapor, kakakku dengan bangganya menceritakan pada semua orang bahwa
dirinya telah membayar secara lunas tanggunganku. Pulang sekolah, nenekku
mengatakan bahwa aku harus manut dengan kakakku dan ikuti semua perintahnya.
Yaa aku terima saja nasihatnya. Itu semua benar. Namun hatiku merasa tidak
terima dengan apa yang telah kakakuku perbuat. Rasanya dia tidak menghargai
pemberian dari guru-guruku. Dia tak tahu diri. Bukan hasil jerih payahnya malah
dia akui. Ketamakannya membuatku semakin membencinya. Aku diperlakukan selayaknya
pembantu bukan diperlakukan sebagai seorang adik. Sejujurnya aku ingin sekali
melabraknya, namun aku masih menahan amarahku. Karena aku masih menghargainya sebagai
kakakku. Walaupun dia tidak peduli, keluargaku juga tidak peduli, namun setidaknya
masih ada orang-orang di luar sana yang menolongku dan membangunkan kembali
semangatku. Mereka masih membuatku tersenyum kembali di saat aku terluka.
-------------------------------
*)Penulis adalah seorang siswa kelas XI di MAN 2 Situbondo.
0 Komentar