Ilustrator : Arinna Viga Rahmatillah*


Oleh : Arinna Viga Rahmatillah*

Perempuan lebih mudah jatuh cinta dibanding laki-laki, karena tingkat kebaperan perempuan lebih tinggi. Malam-malam saat saya sedang malas melakukan apapun, tiba-tiba sahabat saya menelpon via whatsapp. Bukan tidak setia kawan tapi saya benar-benar malas untuk sekedar bergerak. Lebih dari empat kali dia menelpon. Telinga saya pengang, akhirnya saya menyerah dan mengangkat telpon dari dia.

Awalnya saya malas menanggapi dia, karena tahu bahwa ceritanya pasti akan bucin. Apalah saya yang jomlo dan tidak terlalu paham ranah kebucinan dan kemesraan pasangan. Sahabat saya selalu ceria, cerita-ceritanya tidak pernah sedih atau tentang pertengkaran. Tadi pagi dia bertemu denganku di kafe dekat kampus, bercerita betapa perhatiannya si doi. Sebenarnya saya bosan mendengar cerita yang begitu-begitu saja.

Tapi malam ini rasanya berbeda, hujan malah membuat suasana semakin mencekam. Sialan.

Di seberang telpon dia seperti sesenggukan, menahan tangis yang sesak. Saya sakit mendengar suara dia yang semakin serak dan sulit berbicara. Rasa malas saya hilang seketika, berganti khawatir dan resah. Berkali-kali saya bertanya dia kenapa? Tapi responnya hanya diam dan menangis.

“Dis, kamu di mana?” saya bertanya dengan nada gugup. “Depan kafe sembilan” suaranya semakin bergetar saja, saya semakin takut. “Sama siapa?” saya ingin memastikan kalau dia tidak sendirian di sana.  “Sendiri” rasanya seperti ada yang jatuh dan pecah. Seorang perempuan, malam-malam begini sendirian di luar, hujan juga semakin deras. “Arius mana?” aku bertanya sedikit marah. Di mana laki-laki yang jadi kekasihnya setahun ini? Apa dia tidak khawatir melihat perempuannya sedang di luar malam-malam saat hujan?.

Suaranya malah semakin hilang, seperti menahan beban sakit yang dalam. Saya mulai panik. Sontak beranjak dari tempat tidur, mengambil jas hujan dan kunci motor. Bergegas keluar dari kost. “Tunggu di sana, aku jemput” kataku langsung.

Di jalan saya komat-kamit bertanya pada diri sendiri, Adis kenapa? Adis kenapa? Adis kenapa? Adis kenapa?. Terus begitu, berulang-ulang.  Sahabat yang sudah empat tahun dekat dan sudah saya anggap adik kandung saya sendiri. Lima belas menit perjalanan ke kafe sembilan. Saya melihat dia berdiri sambil memeluk tas ranselnya. Sesenggukan. Tubuhnya bergetar, antara kedinginan dan perasaannya yang mungkin kacau. “Dis, naik.” Adis menurut saja. Sungguh, saya tidak ingin bertanya apapun, tidak ingin membuat dia semakin tergugu. Wajahnya sembab sekali.

Sampai di kost, saya memintanya ganti baju dan makan. Sudah saya siapkan mie kuah di atas meja. Satu jam dia hanya menatap kosong makanannya, tidak disentuh sama sekali. Saya ingin bertanya tapi takut membuatnya semakin kalut dan luka. Apa mungkin masalah keluarganya lagi? Atau dia ada masalah di kampus, entah dengan dosen atau temannya? Atau masalahnya dengan doi?. Ah, tapi mana mungkin?.

Saya merengkuh tubuhnya, memeluknya erat. Isyarat untuk memintanya kuat. Dia juga membalas pelukanku, erat sekali. Tangisnya pecah, sesenggukan. Dia patah hati. Kadang Tuhan tahu cara menentukan mana yang terbaik meski dengan cara mematahkan hati hambanya.

Dia bercerita dengan suara yang berat dan sedikit dipaksa: Ra, apa yang lebih sakit dari pengkhianatan? Apa yang lebih berat dari perpisahan?. (saya menahan diri untuk tidak bertanya mengenai apapun) Arius mutusin aku, Ra. Dia memilih perempuan lain dibanding aku, aku dipermalukan di depan selingkuhan dan teman-temannya. Rasanya sakit, Ra. Aku yang bantu dia dapetin beasiswa, aku yang bantu dia tiap kali terlambat kiriman. Bukannya aku perhitungan tapi melihat dia membuang aku, seperti aku dianggap sampah. Seperti aku tidak berguna. Salahku apa, Ra? Salahku apa?. Aku sering membela dia di depan mama dan kakak, tapi sama sekali aku nggak dihargai sama dia. Di kota ini kita sama-sama merantau, dia janji mau jaga aku, tapi kenapa janjinya sama sekali tidak ditepati? Malah semakin membuat aku sakit.

Adista Andara Amalia, perempuan yang saya tahu dua tahun sebelum dia bertemu Arius, dia perempuan pendiam dan menyimpan banyak luka. Dia sudah tidak percaya laki-laki, semacam mati rasa. Tiba-tiba saja Arius datang, tanpa memberi aba-aba perasaannya menjadi suka. Arius banyak memberi adis janji, janji untuk tidak pergi, janji untuk setia, janji bertahan dalam tingkat kesulitan bagaimanapun, janji memberi perempuan itu kebahagiaan, kenyamanan, dan rasa aman. Semua janji dia utarakan sampai Adis mau membuka hati lagi, mencoba percaya laki-laki, sekali lagi. Dia menggantungkan kebahagiaan pada pacarnya Itu.

Perempuan mana yang tidak terluka setelah berusaha kembali percaya lalu tiba-tiba dibuat patah. Lagi. Dunia banyak tidak adilnya dibanding keadilan itu sendiri. Dunia banyak fananya ketimbang kekekalan itu sendiri. Seolah Tuhan ingin bermain komedi, memberi lelucon untuk bercanda dan berbagi. Tapi semua itu tidak lucu.

Adis terlalu rapuh untuk menerima semua kesialan ini. Dia terlalu manis untuk menerima kepahitan kisah cintanya. Sahabat saya ini memang tidak cantik, tapi dia tetap tidak berhak menerima perlakuan sesakit ini. Ditambah keluarganya yang sama sekali kacau, dia tidak punya tempat pulang selain saya. Tidak ada rumah ternyaman baginya. Berkali-kali dia memutuskan mengakhiri hidupnya. Saya yang menahannya, susah payah dan terus menemaninya. Saya berkali-kali meyakinkan dia bahwa dia tidak sendirian. Ada saya di sampingnya, ada saya yang tidak akan pernah pergi, ada yang saya mau menjadi rumah dan diary kecilnya.

Adis yang manis, dengarkan saya: Cinta yang tepat tidak datang secepat cinta yang salah. Jodoh itu bukan soal kecepatan tapi ketepatan.

Di tulisan ini saya ingin menyampai pada sahabat saya dan siapapun kamu yang membaca. Bahagiakan diri sendiri dengan cara sendiri, tanpa menggantungkan kebahagiaan pada orang lain.

 

Biodata Penulis; Arinna Viga Rahmatillah. Ceria-ceria saja tanpa menunjukkan apapun selain bahagia. Topeng terbaik menyembunyikan luka hanya senyum dan tawa.