Ilustrator : Aulia Silmi* |
Oleh : Kapten_ran*
Apa yang salah dengan menjadi wanita kurus, gemuk, pendek, tinggi, atau bahkan memiliki kulit berwarna gelap? Mengapa banyak orang yang mengatakan bahwa menjadi proporsional adalah harga mati? Cantik harus putih! Trend harus diikuti! Untuk sebuah pekerjaan, wanita harus good looking agar menjual pada konsumen.
Dewasa ini, sangat sulit menemukan wanita yang
realistis dalam entertaiment. Kebanyakan dari mereka memiliki bentuk tubuh,
pola wajah, bahkan kebiasaan yang sama. Seakan sengaja menanamkan bahwa
kecantikan dan kebiasaan untuk merawat kecantikan adalah aspek terpenting dalam
hidup semua wanita. Mereka yang tidak mengikutinya, dicap sebagai wanita gagal
atau bodoh bahkan murahan hanya karena selera yang berbeda.
Berbagai media sosial yang ada di Indonesia telah
membuktikan kesenjangan fashion dan pola pikir sangat terlihat antara wanita
yang mengikuti trend dan wanita yang memiliki atau tidak mengikuti trend.
Padahal sejatinya, apa yang mereka lakukan, kenakan, dan biasakan bukanlah hal
untuk dipertontonkan.
Trend fashion bukanlah sebuah kesalahan, meskipun
melanggar norma sosial yang ada. Trend tidak memaksa seseorang untuk
mengikutinya, namun trend menciptakan lingkungan yang memaksa seseorang untuk
mengikutinya agar dianggap sama dengan orang-orang di sekitarnya.
Saat ini banyak industri yang memanfaatkan dunia
fashion dengan trend nya untuk menarik konsumen. Rata-rata model fashion
merupakan wanita yang memiliki good looking. Meskipun ada beberapa model yang
masih realistis, namun lebih banyak model yang tidak realistis.
Dalam dunia entertaiment, bisnis, hingga politik
wanita good looking selalu dicari. Hal ini karena mereka selalu bisa menjual
dan akan menimbulkan kontroversi dalam setiap tindak tanduknya. Meskipun mereka
selalu dijadikan alat menarik konsumen dengan good looking yang dimilikinya,
mereka tidak pernah dianggap manusia selayaknya manusia.
Dalam banyak peraturan yang diciptakan, wanita selalu
dijadikan objek dari peraturan dan kebijakan itu sendiri. Mereka jarang
diberikan panggung untuk unjuk kemampuan. Selalu ditertawakan dengan pilihan
yang dipilih. Dianggap tak mampu setara dengan laki-laki dalam hal kemandirian.
Jika memang demikian, untuk apa semua aturan yang mengekang tindak tanduk
wanita jika memang ia tak bisa menyamai laki-laki.
Dominasi laki-laki dalam lini hidup sosial sangat
terasa, wanita hanya memegang sedikit peranan dalam lingkungan sosial. Mereka
selalu ditekan norma, aturan, dan tindakan baik dari lingkungan maupun
pemerintah. Sangat sedikit emansipasi yang dirasakan saat masih banyak pihak
yang berpendapat wanita tak mampu bersaing. Apalagi pendapat tersebut di dukung
aturan pemerintah.
Dalam sejarah, banyak wanita yang memiliki prestasi.
Di Cina ada Wu Zetian sebagai satu-satunya kaisar wanita dalam sejarahnya.
Indonesia sendiri memiliki Ratu Sima dari Kalingga dan masih banyak wanita yang
mampu menyetarai bahkan melebihi pria. Beberapa dari wanita-wanita hebat yang
mengguncang negaranya hingga dunia selalu di terpa isu miring seolah-olah jika
wanita mendominasi maka tatanan yang tercipta akan rusak. Padahal seorang pria
yang mendominasi suatu negara saja sudah pasti pernah melakukan hal yang
melanggar norma.
Begitu sulitnya bagi wanita untuk tetap berada di
jalan benar dan bersih saat ia mulai meraih mimpi-mimpinya terkadang dianggap
bualan. Jika laki-laki saling menjatuhkan dalam dunia kerja, itu hal lumrah.
Akan tetapi, jika wanita yang melakukannya maka ia disebut licik. Padahal yang
mereka lakukan sama hanya berbeda orang.
Setiap tindak tanduk seorang wanita harus benar-benar
sesuai dengan norma dan tidak mengabaikan tanggung jawab dasarnya. Akan tetapi
dalam prakteknya sulit menyeimbangkan antara tanggung jawab dasar dan perilaku
untuk mencapai sebuah tujuan. Bahkan jika tujuan yang ingin dicapai mulia,
tidak semua lingkungan mendukung hal yang dilakukan oleh wanita.
Kebebasan bagi seorang wanita merupakan harga yang cukup
mahal. Bahkan tak jarang itu bisa berakibat pada mental dan fisik. Sungguh
ironi memang, namun kenyataannya demikian. Bukan salah sang pemberi kebebasan,
bukan salah yang ingin kebebasan, bukan pula salah tuhan. Kesalahan yang utama
terletak pada pola pikir dasar masyarakat yang terlalu memandang lemah seorang
wanita.
Alasan mengapa banyak wanita dikatakan durhaka, tak
tahu aturan, bahkan terlalu berani bukan karena mereka ingin melakukan hal
demikian. Namun mereka lelah selalu mengikuti apa yang diinginkan orang lain
namun ditolak oleh dirinya sendiri.
Tidak ada yang salah memang dengan aturan, norma, dan
kebijakan. Akan tetapi, tidak semua wanita cocok dengan hal di atas. Terlalu
banyak keinginan, cita-cita, dan mimpi yang terkadang bertabrakan dengan hal
tersebut.
Siapa yang salah? Tidak bisa di katakan. Tidak mungkin
menyalahkan pemerintah yang UU Omnibuslawnya saja tidak jelas isinya.
Menyalahkan masyarakat pun akan sia-sia karena hampir semua masyarakatnya
memiliki pola pikir yang sama. Menyalahkan lingkungan keluarga yang tidak
kondusif malah akan menambah masalah karena mereka yang komplain justru akan
semakin ditekan dan dikekang atau bahkan dibiarkan mau hidup atau mati.
Semua yang terjabarkan adalah realita yang dialami
hampir semua wanita baik dulu maupun sekarang. Tak ada yang berubah, hanya
pelakunya yang berbeda. Hasilnya pun hampir selalu sama. Sebuah siklus yang
berputar tak pernah diam. Tak ada yang bisa dilakukan, kecuali diri sendiri
yang mulai berubah agar bisa memanusiakan wanita dan dimanusiakan wanita
lainnya. Akan banyak tantangan, namun konsistensi dan dukungan dari orang
terdekat adalah kunci keberhasilan. Jika tak punya orang terdekat, diri sendiri
adalah penyemangat yang terkuat.
0 Komentar