Ilustrator : Iink Muzayyah 


Oleh : kapten_ran* 

Kata poligami sering terdengar di antara masyarakat kita. Dewasa ini, poligami bukan lagi untuk memenuhi sunah atau sekedar mempertahankan martabat seorang wanita. Tak jarang, poligami menjadi ajang eksploitasi wanita yang tanpa disadari terjadi di sekitar kita. Biasanya pelaku poligami yang melakukan eksploitasi, merupakan orang-orang dengan pengaruh di suatu daerah atau memiliki jabatan di pemerintahan. Poligami dapat mereka lakukan melalui nikah siri jika tidak direstui istri pertama.

Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan, menyebutkan bahwa Pengadilan hanya akan memberikan izin kepada suami untuk beristri lebih dari satu jika sang istri tidak bisa menjalankan kewajibannya, istri memiliki cacat badan atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan, dan jika istrinya tidak dapat melahirkan keturunan. Apabila seorang istri tidak mampu melakukan peranannya, maka sang suami boleh melakukan poligami.

Pasal 5 ayat (1) UU Perkawinan, syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin melakukan poligami yakni, dengan persetujuan dari istri pertama atau istri-istri lainnya, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka

Apabila seorang suami tidak bisa memenuhi syarat-syarat yang telah di jabarkan dalam UU perkawinan, maka poligami tidak dapat dilakukan. Akan tetapi, masih marak perkawinan yang terjadi tanpa persetujuan negara atau disebut nikah siri. Praktek ini banyak menimbulkan eksploitasi terhadap wanita atau bahkan anak dibawah umur. Dengan berdalih anjuran keyakinan, menjaga martabat, dan niat baik mempersatukan keluarga bisa mengakibatkan eksploitasi anak melalui pernikahan dini.

Alasan lain yang kerap kali dijadikan acuan poligami untuk meyakinkan orang tua dan lingkungan sekitar ialah jumlah laki-laki yang lebih banyak dari wanita. Akan  tetapi, hal tersebut dapat dibantah oleh data nasional dan internasional. Menurut data Worldometer pada tanggal 23 Desember 2020, jumlah populasi manusia di seluruh dunia mencapai 7.883.998.300 jiwa. Indonesia menempati urutan ke-4 dengan menyumbang 3,51% populasi dunia dengan jumlah penduduk 273,523,615 jiwa.

Kepadatan penduduk Indonesia 151 jiwa per km² dengan luas area 1.811.570 km². 56,4% atau sekitar 154.188.546 orang dari populasi merupakan masyarakat urban. Populasi terbesar di Indonesia berada di Kota Jakarta dengan jumlah populasi 8,540,121 jiwa. Diperkirakan selama tahun 2020 penduduk Indonesia bertambah 1,15% atau 3,028,072 jiwa. Rata-rata harapan hidup penduduknya sampai usia 72,3 tahun, laki-laki 74,6 tahun dan wanita 70,1 tahun.

Usia median penduduk indonesia saat ini ialah 29,7 tahun. Sementara tingkat kesuburan wanitanya sebesar 2,32. Berarti wanita (usia 15-49 tahun) secara rata-rata mempunyai 2-3 anak.  Kematian pada bayi terjadi sebanyak 15-16 bayi dari 1000 bayi yang dilahirkan. Sedangkan pada bayi dibawah lima tahun terjadi 21 kematian dari 1000 bayi yang hidup hingga usia lima tahun. Dilansir dari  CNN Indonesia, hasil data kependudukan Indonesia  semester I per 30 Juni 2020 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri menyatakan, jumlah penduduk laki-laki Indonesia mencapai 135.821.768 jiwa dan wanita 134.858.411 jiwa dari total penduduk yang berjumlah  268.583.016 jiwa.

Menurut data tersebut, jumlah laki-laki lebih banyak 963.357 jiwa daripada jumlah wanita. Rasio ketergantungan penduduk Indonesia tahun 2020 mencapai 47,7%. Artinya setiap 100 orang yang berusia produktif (angkatan kerja) mempunyai tanggungan 48 penduduk tidak produktif (usia 0-14 tahun ditambah usia 65 tahun ke atas). Dari berbagai data, dapat dilihat perbedaan jumlah antara laki-laki dan wanita yang melebihi 100.000 jiwa.

Apabila di suatu daerah penduduk wanita lebih dominan, lalu diperbolehkan bahkan dianjurkan melakukan poligami. Apakah poliandri boleh dilakukan di daerah dengan dominasi penduduk laki-laki? Tentunya tidak diperbolehkan karena melanggar norma dan ajaran yang berlaku. Inilah yang mengakibatkan eksploitasi terhadap wanita dan anak dibawah umur.

Norma dan ajaran yang seharusnya menjadi penjamin adanya kedamaian dan ketertiban justru menjadi alasan ketidakteraturan di masyarakat. Dilansir dari situs KPAI, tercatat pada tahun 2019 ada 244 kasus dengan jumlah kasus tertinggi ialah kasus korban Eksploitasi Seksual Komersial Anak sebanyak 71 kasus, anak korban prostitusi 64 kasus, anak korban perdagangan 56 kasus dan anak korban pekerja 53 kasus.

Menurut data BPS, sepanjang tahun 2019 Jumlah kasus dan Persentase korban kekerasan terhadap perempuan yang mendapat layanan komprehensif sebanyak 13 821,00 kasus. Sedangkan kasus pernikahan dini di tahun yang sama, sebanyak 10,82% dari jumlah seluruh pernikahan yang diadakan pada tahun tersebut. Jumlah asli sebenarnya lebih banyak daripada data, namun tidak semua kasus tersorot. Sedangkan kasus perceraian di tahun yang sama sebanyak 480.618 kasus bahkan lebih. Hal ini memerlukan respon aktif masyarakat agar praktek kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan dapat ditekan atau dihilangkan.

Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU NO. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun. Apabila orang tua dapat menunggu anak-anaknya sampai pada usia matang menikah baru menikahkan mereka. Maka akan meminimalisir terjadinya eksploitasi.

Poligami boleh dilakukan sesuai aturan dan syarat yang berlaku. Tujuannya juga harus jelas, bukan hanya karena hasrat. Hal ini perlu dilakukan agar tidak ada eksploitasi berkelanjutan pasca pernikahan. Sebagai seorang anak, patuh terhadap orang tua merupakan keharusan. Jika keharusan itu mengakibatkan kesakitan bahkan kematian, melawan merupakan jalan yang tepat. Orang tua juga haruslah tahu bahwa kehidupan seorang anak, apalagi anak perempuan sangatlah penting. Berani berkata tidak saat di doktrin adalah hal yang bijak. Seorang anak lebih membutuhkan kasih sayang dan perlindungan orang tua, bukan pengakuan dari lingkungan sosial.

Dengan mengikuti anjuran norma dan kepercayaan seseorang bisa disegani. Akan tetapi bila anjuran atau kepercayaan tersebut menyesatkan bahkan menjerumuskan ke dalam masalah yang lebih berat, akan lebih baik jika tidak dilakukan. Pandangan masyarakat memang perlu untuk diperhatikan. Namun, merusak kehidupan seorang anak atau wanita bukan jalan keluar. Dominasi dan doktrinisasi harus ada yang melawan agar terjadi perubahan. Karena besar kemungkinan, apa yang terjadi pada orang lain akan terjadi pada keluarga diri sendiri.