Aurat, yang mana ?


Arunika yang muncul dari timur hingga menjelang temaram di ufuk barat seolah mengungkap sejarah panjang peradaban manusia di bumi modern saat ini. Terlukis kembali tentang bagaimana mulanya Kanzul Jannah berkata, bahwa pekerjaan utama manusia kelak adalah merusak buminya sendiri dan yang mereka mampu hanyalah menyakiti sesama.

Meski raga yang sempurna di pinjami oleh-Nya kedua mata, namun tidak banyak diantaranya yang dapat melihat. Demikianpun kepada mereka yang dapat mendengar, tidak banyak di antaranya yang mampu untuk benar-benar “mendengarkan”. Semakin banyak manusia yang sukar untuk memberikan maaf meski hanya seuntai kalimat, diciptakannya kehancuran pada mereka yang bukan dia, hingga berbekal seribu dendam yang katanya akan dibawa tersungkur kelubang tanah.

Akankah segala perilaku yang demikian merupakan pengaruh dan bisikan seribu setan?

Rasanya tidak mungkin jika salah satu sya’ir yang berbunyi “minal jinnati wannas” mampu untuk kita maknai secara baik dan dengan sebenar-benarnya, sebab arti yang terkandung di dalamnya telah jelas mengatakan golongan jin dan manusia. Hal ini dapat kita tela’ah bersama secara idiom, bahwasanya setan yang dimaksud adalah manusia dan jin. Mengapa tidak? Sedangkan fakta yang saat ini seringkali terlihat adalah lisan, hati dan pikiran manusia tanpa busana (bertelanjang) dimana-mana, apa yang seharusnya mereka tutup dan mereka jaga dengan pakaian takwa (aurat) justru mereka tampakkan begitu saja tanpa perasaan malu.

Aurat dapat kita maknai dalam sudut pandang kehidupan secara luas, sebab aurat dalam istilah bahasa mempunyai makna yang tidak terbatas. Tuhan melalui ayat yang dibentangkan (langit), dihamparkan (bumi), serta diperjalankan (manusia) telah jelas memberitakan bahwa setiap hamba wajib untuk menjaga lisan agar tidak menyakiti sesamanya, hati serta pikiran setiap manusia diharuskan untuk senantiasa berprasangka baik kepada-Nya meskipun dalam keadaan menderita.

Persoalan aurat tidak hanya dapat dipahami secara materil berupa tubuh seseorang, sebagaimana islam yang sejati ialah ruh, bukanlah materil berbentuk jasad. Mengingat dalam hal ini masih seringkali kita dengarkan “Islamku benar dan Islammu salah”

Festival kebenaran seringkali dipertontonkan kepada wajah publik secara gratis dan cuma-cuma, salah satu diantaranya ialah pagelaran “perempuan sebagai pintu maksiat apabila tidak menutup aurat”, katanya. Mengenai persoalan ini, mari bersama kita ulas kembali tentang pernyataan Alm. Gus Dur (Al-Fatihah) ketika ada salah seorang rakyatnya yang mengatakan Goyang Inul itu haram. Singkat beliau menjawab “untuk yang melihat, sedangkan aku buta sehingga tidak dapat melihatnya”.

Pernyataan yang di lontarkan oleh Alm. Gus Dur secara tidak langsung mengisyaratkan agar kita senantiasa “pandai memilah dan melihat” serta tidak memojokkan perempuan sebagai sesuatu yang di anggap tabuh. Ibnu ‘Arabi pernah mengatakan “siapapun saja yang ingin mengenal Tuhan, hendaknya ia menjadi perempuan terlebih dahulu. Hati dan pikirannya harus senantiasa di isi dengan kelembutan dan sikap mengayomi sesama”. Manusia yang senantiasa melihat dengan hati, niscaya tidak akan mudah untuk menyalah-nyalahkan.

Mata seorang laki-laki juga mempunyai kewajiban untuk menutup auratnya, dari penglihatan-penglihatan yang tidak sebagaimana mestinya. Demikianpun dalam persoalan hijab, jilbab, abaya atau apapun namanya. Tidak hanya mengacu pada salah seorang perempuan, melainkan juga terhadap segala prasangka-prasangka tidak baik yang tersimpan di dalam akal pikiran setiap manusia.

Mengulas pemahaman diksi aurat secara detail rasanya tidak akan pernah usai, namun contoh kecil dari peristiwa yang berkaitan dengannya begitu banyak kita temukan, tidak terhitung seperti buih di tepian pantai. Metode pembelajaran yang mengedepankan kelembutan bagaikan cermin yang telah hancur berkeping-keping, kata-kata yang bertelanjang begitu mudahnya kita temukan di media maya, perdebatan-perdebatan yang mengedepankan ego, prasangka-prasangka dengan penuh kebencianpun begitu luasnya kita sedekahkan. Adu domba antar golongan yang membawa identitas keagamaan pun demikian mudahnya dipertontonkan tanpa pakaian kasih sayang.

Kita adalah hamba yang telah digilas oleh zaman mapan, berpakaian tapi telanjang, berhutang tak terhitung pada kebenaran yang seringkali diperdebatkan. Kepada alam yang seringkali kita persakitkan, kepada sesama yang seringkali kita bunuh dengan lisan, kepada Tuhan dan kepada Kekasih yang katanya kita rindukan.

Terlepas dari ia sebagai seorang laki-laki ataupun perempuan, Tuhan masih mengakuinya sebagai seorang hamba. Seluruh jiwa adalah satu yang berwujud ruh, berlaku kepada mereka seluruh kepatuhan dalam mengabdi tanpa tapi. Aurat yang diajarkan oleh Kekasih, adalah sesuatu yang harus kita jaga hingga kembali nanti. Menutup celah agar tidak saling membenci ataupun menyakiti, baik dengan mata, lisan serta hati.

Tuhan, masih berkenan untuk menerbitkan matahari dari timur menuju barat, berpura-pura menutupi telinga dan tidak melihat apa saja keburukan yang dilakukan oleh manusia. Masih saja Dia berkenan untuk menyambut kedatangan seluruh hamba-Nya dengan kelembutan, “Datanglah kepada-Ku, katakan apa yang kalian mau”. Padahal, jika saja Dia ingin, niscya membuat semua peristiwa berbanding terbalik bukanlah hal yang mustahil. Sungguh amat sangat di sayangkan lantaran manusia tidak mampu untuk mematahkan pernyataan Kanzul Jannah di alam ruh. Bahwasanya manusia tak pandai dalam menutup aurat dan hanya mampu menyakiti sesamanya.


Salam Hormat,


Rg. Hutama, Situbondo-Malang.