Ilustrasi Rendra (Cakanca.id/Alifa Faradis)


Oleh: Kapten_Ran

Namanya Rendra, aku memanggilnya dengan sebutan “Mas Rendra”. Seorang laki-laki yang senyumannya mampu menggerakkan detak jantungku. Sungguh manis sekali senyum yang terukir di bibir itu, hingga mataku tak sanggup untuk melewatkannya. Percikan rasa suka yang tak diharapkanpun muncul kepermukaan dan tergambar jelas dalam tingkahku. Namun segera kutepis agar rasa suka itu tak semakin menjalar di jiwa ini.

Keberadaanya membuatku riang karena tanpa ia melakukan sesuatu, aku sudah bisa tersenyum. Sinar mata dan kepribadiannya yang hangat membuat siapapun tidak akan bisa menemukan jalan untuk keluar apabila sudah terperangkap dalam mata itu. Salah satunya ialah aku. Namun meski terperangkap, aku memilih untuk mendiamkan rasa suka itu. Biarlah ia sendiri bersemayam dalam jiwa yang kesepian ini.

Keputusan yang berat memang untuk memendam apa yang dirasa. Namun saat itu keputusan tersebut adalah hal yang terbaik. Awalnya kupendam agar tak merusak pertemanan yang sudah terjalin diantara kami. Namun lama-kelamaan rasa itu harus kupendam karena ia mencintai sosok perempuan lain. Perempuan yang memang kukenal baik dan bisa menghargai orang lain lebih baik dari diri ini.

Selayaknya seorang teman, aku membantu keduanya agar bersama dan saling menjaga. Karena bagiku saat itu, aku masih kurang layak untuk bersama dengannya. Memang terkesan aku acuh akan pendapatnya, namun aku tidak bisa mengabaikan perasaan perempuan lain yang menyukainya. Apalagi aku sangat yakin bahwa mereka saling mencintai dan memiliki keinginan saling menjaga satu sama lain.

Aku melihat perlakuan Mas Rendra pada perempuannya sangat tulus dan penuh kasih sayang. Hal yang juga pernah aku impikan. Namun waktu dan takdir tak mengizinkan. Jadi hal yang bisa aku lakukan adalah mendukung mereka. Bagiku sudah cukup Mas Rendra bahagia dengan pilihannya, walaupun bukan aku.

Rasa cemburu itu sudah lama ada didalam diriku namun selalu bisa kukendalikan. Karena rasa sukaku hanya sebatas mengagumimu, bukan rasa ingin memiliki dirimu seutuhnya. Akan tetapi rasa suka yang aku miliki padanya justru membuatku risih terlalu dekat dengan laki-laki lain di depannya. Mungkin karena aku menghargai perasaanya atau mungkin jiwaku enggan ada rasa lain yang berada di sampingnya.

Entahlah, akupun tak tahu. Yang jelas sejak ia bersama perempuan pilihannya, aku tidak terlalu tertarik dengan laki-laki lain. Memang aku bersama mereka, namun tidak ada yang benar-benar bisa membuatku melepaskan rasa sukaku padanya. Hingga suatu ketika ada seseorang yang datang dan membuatku bisa menidurkan rasa sukaku pada Mas Rendra. Namun hanya sementara. Begitu ia pergi, tidak butuh waktu lama untuk rasa itu bangun kembali.

Keberadaan Mas Rendra seakan candu yang membuatku tidak tahu harus bersikap seperti apa. Jika kuungkap secara terang bisa saja ia menjauh, namun saat kupendam itu menjadi bumerang untukku. Apalagi aku mengetahui dengan baik sikap seperti apa yang akan dirinya ambil jika sedang risih terhadap seseorang. Hal yang membuatku enggan untuk bergerak dan juga diam adalah sikapnya yang tak menentu.

Kewaspadaan yang ia miliki memanglah aku yang menjadi salah satu penyebabnya. Aku yang mendorong ia untuk memiliki hal demikian secara tidak langsung. Namun bukan berarti aku sengaja melakukan hal tersebut. Jika aku tahu akhirnya ia akan seperti itu, aku juga tidak akan membiarkannya terluka separah dulu. Namun aku bukanlah pemilik waktu yang tahu akan keseluruhan garis waktu.

Rasanya permintaan maafkupun tidak akan sanggup membalikkan waktu dan merubah pemikiran yang dimilikinya. Namun jika memang harapan itu datang bersamaan dengan waktu yang berlalu, aku harap saat itu aku bukan salah satu dari semuanya melainkan satu-satunya. Tidak ada yang lebih menyedihkan dari tersadar bahwa diri ini dijadikan pilihan. Memang tidak akan langsung terucap dari bibir manisnya, namun sikap yang ditunjukkannya tidak akan bisa mengelabui mata yang telah lama mengamatinya.

Mendengar Mas Rendra menceritakan bagaimana ambisi dan egoku senantiasa mengalahkan perasaanku memang terasa menyenangkan sekaligus menyedihkan. Seandainya bisa, aku juga ingin menyeimbangkannya. Namun aku takut untuk mengalami sebuah kegagalan yang melibatkan perasaan. Karena bangkit dari kegagalan yang berdasarkan logika lebih mudah daripada bangkit dari kegagalan yang disebabkan perasaan.

Menyenangkan bagiku bisa menjadi bagian dari kisah hidup seorang laki-laki bernama Rendra. Walau mungkin nanti bukan aku yang dipilihnya, paling tidak aku pernah memperjuangkannya. Dan perjuangan itu sudah dimulai, entah akhirnya akan menjadi kebahagiaan atau kepahitan. Biarlah sang pemilik takdir yang menentukan.

Pesanku untukmu mas, meski aku bukan yang pertama untukmu, aku harap diriku kau izinkan menjadi yang terakhir dalam hidupmu. Ibarat shalat tarawih, bukan siapa yang datang paling awal, namun siapa yang bertahan hingga akhir. Jika ada keraguan dalam dirimu, maka katakanlah. Sungguh, aku tidak akan menyerah untuk rasa sukaku padamu kecuali kau telah memilih perempuan lain seperti dulu. Maka dengan ikhlas akan kulepas dirimu. Karena kau terletak didalam perasaan yang kujaga agar tak hancur bukan pada logika yang selalu siap untuk bertempur.

Jika kau memang ragu dalam menentukan keputusan, biarlah doaku yang mengguncang langit membantumu menentukan. Namun jika kau sudah menentukan keputusan, terlebih keputusan itu ialah melepasku. Doaku akan membantumu menetap dalam pilihanmu. Sehingga tidak akan ada goncangan yang berarti lagi dalam hidupmu.

Rasa sukaku padamu murni tak menginginkan balasan, karena aku tak selayak itu untuk mendapatkan dirimu. Siapalah aku bagi kamu yang memiliki segalanya? Semoga dalam penantianku yang tak tahu kapan berakhir ini hanya ada tangis bahagia, bukan tangis duka kepergianmu. Karena aku lebih rela menerima bunga di pernikahanmu daripada menaburkan bunga diatas nisanmu mas.


__________

*) Penulis sedang berkelana di kota Jember.