Ilustrator : Alifa Faradis



Oleh: Ario Rafni Kusairi*

“Silahkan ke ruangan Saya jam 14.00.” balas pembimbing skripsiku via WhatsApp, setelah kutanya kapan bisa kutemui untuk bimbingan. Aku bernafas dengan berat, jam baru saja menunjukkan pukul 08.15 ketika Aku baru saja tiba di gedung Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora UIN Jember.

Suasana gedung ini tampak hidup. Terlihat mahasiswa, dosen dan staf berlalu lalang di depanku yang duduk di bangku tunggu yang tersedia di koridor. Suara hentakan kaki seakan menjadi sebuah instrumen pengiring tungguku. Aku mengeluarkan sebuah novel dari dalam tas, untuk membunuh rasa bosan di tempat yang ramai, tapi sepi. Jangan kira aku rajin membaca, tidak, tapi bermain dengan gawai tentu lebih membosankan.

Semua orang berpendapat bahwa menunggu itu menyebalkan, bahkan waktu akan terasa lama. Ya, itulah yang kurasakan sekarang, tak terasa sudah dua bab di novel yang kubaca telah selesai, namun jam masih menunjukkan angka 10.26, masih sangat lama dari jam yang dijanjikan. Aku berdiri dan melakukan sedikit peregangan dan beranjak keluar dari gedung fakultas. Berjalan-jalan keliling kampus, meski suasananya tidak berbeda, namun ini cukup untuk mengalihkan rasa bosan.

Aku melangkahkan kakiku ke arah timur fakultas, menuju perpustakaan yang dihubungkan dengan jembatan berwarna hijau dan putih. Perpustakaan termasuk jajaran gedung yang ada di bagian depan kampus, bersanding dengan gedung Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan serta Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Di depan ketiga gedung ini, terdapat lapangan basket dan futsal yang menjadi satu dan lapangan bola voli yang di siang hari berfungsi sebagai tempat parkir, dan benar lapangan ini sudah penuh oleh kendaraan yang lebih didominasi oleh motor. Dari ketiga gedung ini, tampak mahasiswa yang masuk dan keluar, dengan menggendong tas dan ada beberapa yang merangkul buku.

“Fahmi!” telingaku menangkap suara yang memanggil namaku. Saat kumenoleh ke arah suara itu, ternyata seorang gadis dengan mengenakan gamis abu-abu serta hijab dengan warna seanada yang menutupi kepalanya. Senyuman khasnya yang lebar menambah kesan menawan dalam wajahnya.

“Eh, Rara.” Aku menghampirinya yang tengah berdiri di depan tulisan I Love FTIK, “Abis bimbingan, ta?”

Rara menjawabnya dengan anggukan, “Kamu dari mana?”

“Mau bimbingan, tapi Aku datang ngawal, ini jalan-jalan keliling kampus biar ga boring.”

“Ke gazebo yuk, aku mumpung bawa camilan nih.”

Aku pun mengiyakan ajakannya, Kami berdua berjalan berdampingan menuju ke gazebo di belakang gedung rektorat. Beruntung, ada satu gazebo yang kosong, Kami pun menjatuhkan pantat kami di bangku gazebo yang terbuat dari adonan semen dan batu bata. Rara mengeluarkan sebuah tupperware yang berisi usus krispi dari tasnya untuk kami nikmati bersama.

“Aku dah lama pengen makan usus krispi, tapi ga tau mau beli di mana.” Komentarku sembari mencomot sebatang.

 “Iya, tah? Makan yang banyak dah, Mi!” Ekspresi senang tergambar jelas dalam wajah Rara atas apa yang kukatakan tadi.

Kami berdua berteman usai dipertemukan dalam satu kelompok KKN tiga bulan yang lalu, dan kami cukup akrab yang membuat obrolan dapat mengalir dengan lancar. Sesekali Kami tertawa di tengah-tengah obrolan. Wajah lesuku kini sedikit berubah cerah, sejak tadi pagi tidak ada teman untuk kuajak berbicara. Tak lama kemudian, Masjid Sunan Ampel UIN Jember mengundang para masyarakat kampus untuk beribadah dhuhur. Rara pun berpamitan padaku, ia mengatakan jika akan pulang ke kostnya, sebelum pergi ia menawarkan usus krispi itu padaku, namun kutolak dengan alasan sudah kenyang. Kami berbalas tos sebagai tanda pamitan.

Kulangkahkan kakiku ke arah masjid yang berada di sebelah barat gazebo tempat kami berdua nongkrong, untuk memenuhi panggilan Tuhan yang baru saja disampaikan oleh Muadzin. Aku duduk di dalam masjid setelah berwudlu’, dan mengikuti dizikiran yang dibaca sebelum shalat. Satu per satu, jamaah memasuki masjid. Tampak beberapa jamaah yang shalat dua rakaat, bahkan tak sedikit yang langsung duduk tenang bahkan meluruskan punggungnya di lantai masjid yang dingin. Sepuluh menit berlalu sejak adzan dikumandangkan, muadzin kemudian berdiri dan mengumandangkan iqamah, tampak seorang dosen senior maju ke depan berdiri di mihrab untuk memimpin shalat jamaah. Seperti biasa, Imam shalat memberi intrsuksi untuk tenang dan merapatkan shaf, dan kemudian shalat ditegakkan.

Seusai shalat dan wiridan, satu persatu jamaah shalat dhuhur meninggalkan masjid untuk kembali ke aktivitasnya masing-masing, sedangkan aku memilih untuk merebahkan badanku. Terdengar suara gemeretak dari punggungku yang rasanya cukup nikmat. Aku memandang langit-langit dengan tatapan kosong, seakan bingung dengan apa yang harus kulakukan. Cukup lama Aku melamun, namun aku segera bangkit setelah mataku berat, dan hampir tertutup. Jam sudah menunjukkan pukul 12.40, yang berarti satu jam lagi jadwalku bertemu dengan pembimbingku. Aku segera keluar dari masjid, memasang sepatu dan berjalan ke arah selatan, kembali ke fakultas. Dan aku cukup beruntung siang ini, sebab ada adik tingkat yang mengajakku untuk berboncengan dengannya, lumayan menghemat tenaga dan waktu.

***

Ternyata ada perubahan rencana pertemuanku dengan Bapak Amin selaku pembimbingku, Beliau memintaku untuk menemuinya di perpustakaan lantai 1, bukan di Fakultas. Setibanya di perpustakaan, Aku pun masuk ke ruangan yang beliau maksud. Usai mencium tangannya dengan ta’dhim, Bapak Amin kemudian menyodorkan satu bandle skripsiku di bagian BAB III yang sudah diberi tanda lahir olehnya. “Bagian ini sudah tepat, tapi di sini kamu perbaiki lagi.” Titahnya padaku. Setelah pertanyaan dan konsultasiku dijawab, Aku pun pamit untuk keluar dari ruangan beliau. Kuucapkan salam usai mencium tangan beliau sebagai tanda ta’dhim.

Gemuruh hujan terdengar ketika aku baru saja keluar dari ruangan tempatku bimbingan, bagiku tidak masalah, sebab aku membawa mobil ke kampus, tidak perlu menunggu hujan reda untuk pulang. Namun, mataku menangkap gadis yang baru saja kutemui tadi, yah orang itu adalah Rara yang baru saja menuruni tangga keluar perpustakaan.

Pandangan kami bertabrakan yang menumpahkan senyuman di wajahku dengannya. “Kok di sini?” tanya Rara.

“Iya, sama dospem disuruh ke sini. Kamu ngembalikan buku?”

Rara menjawab dengan anggukan, dan mengalihkan pandangannya ke halaman perpustakaan yang tengah diguyur hujan, nafasnya yang berat terdengar di telingaku.

“Kamu bawa motor ke sini, Ra?”

“Enggak, Aku jalan kaki, kirain ga bakal hujan tadi.” Wajah murung tergambar di wajahnya saat menjawab pertanyaanku.

 “Aku laper, ikut yuk cari makan, makan pedes-pedes enak nih hujan-hujan.” Ajakku padanya, sekalian kuantar pulang nanti. “Tenang, Aku bawa mobil, Kita ga perlu hujan-hujanan.” Senyuman Rara terlukis kembali di wajahnya, senyuman yang sangat kusuka.

Kami berdua keluar dari perpustakaan. Di teras, Aku memintanya untuk menunggu di sini selagi kutembus hujan menuju mobil. Dengan sedikit berlari, Aku tiba di mobil Lan-Evo X berwarna merah metalik yang kuparkir di halaman parkir khusus mobil. Setelah masuk ke dalam, Aku pun menghidupkan mesinnya, dan terdengar deru yang agak keras dari cerobong pembuangan, setelah memasang savety belt dan mengaktifkan Air Conditioner untuk menghilangkan embun di kaca depan, kumundurkan mobil ini dan kuarahkan ke depan teras perpustakaan. Rara membuka pintu sebelah kiri dan masuk ke dalam. Setelah megunci pintu dengan rapat dan memasang savety belt pula, kumajukan mobil ini meninggalkan gedung perpustakaan dan berbelok ke arah utara menuju jalan keluar yang berada di depan perpustakaan. Di saat hujan mengguyur, kawasan kampus UIN Jember tampak lebih sepi, jarang terlihat kendaraan berlalu-lalang, bahkan halaman parkir di depan perpustakaan, Fakultas Tarbiyah dan Dakwah hanya terlihat beberapa motor yang mudah dihitung jari.

By the way, mau beli apa, Ra?”

“Gimana kalo seblak deket Unmuh?”

“Oke.”

***

Tiga puluh menit berkendara, akhirnya Kami tiba di tempat tujuan Kami. “Seblak Mang Ujang” namanya. Setelah melintasi alun-alun Jember yang padat akan kendaraan, Jembatan Semanggi dengan kelokan tajamnya, ruas jalan Jawa hingga Jalan Karimata yang dikenal dengan istilah daerah kampus dengan kepadatan akan kendaraan dari semua arah yang menjadi hiasan wajibnya.

Setelah kupinggirkan mobil, kami berdua keluar dengan sedikit berlari, sebab hujan belum reda. Setelah memesan dua mangkok seblak dengan level 5 bagi Rara dan level 2 untukku serta dua gelas Teh hangat sebagai pasangan, kami pun duduk di kursi yang disediakan. Kedai ini tidak terlalu luas, bahkan hanya tersedia satu tempat makan yang Kami duduki, namun tata letaknya rapi dan bersih. Sama halnya dengan kedai atau warung pada umumnya, display menu merangkap kasir atau bahasa kerennya gerobak, diletakkan di depan, menu yang Kita pesan diracik di sana, di tengah adalah tempat makan, dan bagian belakang rak berisi camilan dan lemari pendingin berisi minuman. Konsep minimalis yang sebenarnya diperlihatkan kedai ini. Aku suka.

“Kamu sering beli seblak di sini?” tanyaku pada Rara sembari menyantap seblak panas di depanku.

“Ga sering sih, tergantung ada yang ngajak aja.” Rara terlihat meniup kuah yang panas ini, “Kalo Kamu?”

“Baru sekarang.”

“Oh ya?” kali ini, Ia mengangkat kepalanya dan melihat ke arahku dengan wajah terkejut namun tetap tersenyum.

Usai urusan Kami di kedai ini selesai, Kami segera masuk kembali ke dalam mobil, dan hujan masih belum kunjung reda. Agar tidak perlu putar balik, kuarahkan mobil ini maju, berjalan ke arah selatan di jalan karimata, setelah berkendara sejauh satu kilo meter, kubelokkan arah mobil ini ke kanan, menyisir Jalan nasional III.

“Mau langsung pulang apa masih mau mampir ke mana?”

“Pulang aja deh, ujan-ujan gini.”

***

 “Mau mampir dulu apa langsung pulang?” tanya Rara padaku usai kuhentikan laju mobil ini tepat di depan rumah kostnya.

“Ga ah, entar digrebek.”

“Ya di ruang tamu lah, bukan di kamarku juga dong.” Rara terlihat menggerakkan matanya ke atas dan ke bawah, yang memancingku untuk tertawa. “Ya wes, hati-hati di jalan yok.”

“Siyap, Bu.” Jawabku dengan memberi tanda hormat padanya.

Jalan di depan rumah Kost Rara cukup lebar, bahkan dua buah truck sekaligus bisa berpapasan, membuatku hanya perlu sekali memutar penuh setir untuk berbalik arah. Kulihat Rara masih berdiri di depan pintu, kubunyikan klakson untuk berpamitan padanya, yang Ia balas dengan lambaian tangan. Di kaca spion, masih kusempatkan untuk melihatnya, dan ia telah masuk ke dalam bersamaan dengan mobilku yang merayap meninggalkan perumahan ini.

Hari ini cukup menyenangkan, Aku bisa quality time bersama salah seorang temanku, teman yang begitu istimewa. Namun, di perjalanan pulang, aku merasakan hal yang aneh, meskipun aku sudah sering merasakannya, seperti ada sesuatu yang hilang dalam diriku, suatu rasa yang selalu hinggap di dada ketika berpisah dengan seseorang, setelah bersenang-senang cukup lama.

Apa ini rindu? Mungkin saja.


 _________________________________

*) seorang rookie yang tengah memperjuangkan D.