Kita
terlahir di bulan yang sama. Di bulan yang sama pula sinar harapan bermunculan.
Dari pantulan kerlip lampu pesta, aku bisa melihat rona di wajahmu. Seperti
gemuruh yang tiba-tiba hadir di kemarau panjang. Sepertimu yang berlabuh di hati
bak ombak menerjang pantai begitu kejam. Tapi mendengar suaranya, itu
menenangkan.
Dengan
rambut semerah hati, kau tersenyum sembari mengarahkan gawai ke arahku yang
terperangah. Pedang di pinggangmu terkadang kau genggam, seperti ksatria yang
hendak menyerang. Aku tak tahu, siapa kamu dan apa kamu di balik semua karakter
yang kau perankan itu. Yang aku tahu hanya satu. Seperti katamu, "Bulan
yang sama, warna yang sama."
Sejenak aku tersenyum. Begitu indah rona yang tercipta di antara percikan air yang jatuh, hingga membuatku lupa dengan adanya karang yang menunggu tepat di dasarnya. Dan aku hampir tenggelam hanya karena melihat senyummu malam itu.
Situbondo, 01 Januari 2023
Akhir Tahun
Hujan
di akhir tahun begitu menggugah para pemirsa untuk berbondong berceloteh di
atas tangan yang mengadah. Berharap malam kan cerah sehingga bisa bergandengan
dengan kekasih atau sekedar bermain api, mungkin juga hati. Tapi langit tahu,
semua tak hanya sekedar yang nampak. Percikan kembang api itu mewarnainya, tapi
langit masih tak kunjung bahagia.
Tampaknya
itulah cerminan dirimu. Sosok gadis yang kini terpekur dengan kuas dan warna di
sudut kamar yang dingin. Meminta pada semesta untuk segera mengeksekusi rasa
yang tak seharusnya membadai di benaknya. Menjadi makhluk lemah yang terkadang
bisa hancur hanya karena senyuman, selalu membuatnya frustasi.
"Kalau mau datang disaat sendiri dong, jangan bergandengan." Celetuknya dengan jemari masih lihai menggambar tiga sosok dengan tanda " X " di salah satunya.
Situbondo, 01 Januari 2023
Peniti dan Jubah Hitam
Tak
ada peniti, maka jarum pentul pun jadi. Setidaknya itu anggapanmu saat dengan
begitu lembutnya kau meminta bantuan. Padaku yang hanya melamunkan angan
bersamamu, yang terkesiap kala kau menaruh wajah tepat di hadapanku. Aku hanya
mengangguk dan terburu menyampirkan jubah sehitam malam di pundakmu.
Aku
bersumpah. Sosok raja begitu kuat mengelilingimu yang tersenyum polos saat itu.
Dengan sigap kusatukan dua warna kain yang kau pakai dengan jarum di jemariku.
Tampak kau yang hanya menatapku dengan was-was dan aku yang berulang-kali
menenangkanmu.
"Kalau tertusuk bagaimana?" Kau bertanya. Lalu dengan senyum karena selesai menyatukannya, aku pun menjawab. "Maka sudah takdirnya untuk terluka."
Situbondo, 01 Januari 2023
BIONARASI PENULIS-ILUSTRATOR
*) Gaharu,
kerap disapa Aru. Seorang wibu yang berasal dari Situbondo dan saat ini
mengenyam pendidikan S1 di ISI Yogyakarta prodi Seni Murni peminatan Seni
Grafis. Menjadi penulis dan illustrator tetap di cakanca.id sejak 2020.
Beberapa karyanya termuat di website cakanca.id dan takanta.id, juga pada
beberapa buku antologi seperti “Menghitung Percakapan”, “Womantalk: Ketika
Perempuan Angkat Bicara”, “Cinta di Ujung Sekolah”, “Cerpen Cerita Rakyat
Situbondo”, dll. Salam silaturahmi di Instagram @gaharu07 dan @artataru07
“Bukan perkara bisa atau tidak menggapainya.
Lakukanlah karena kau mau.”
0 Komentar