Oleh: Siti Romlah*
 

"Rat, kamu bisa ke rumahku, ndak? Aku punya sesuatu untukmu," ujar Radjo saat menelepon sahabatnya pagi ini.

"Ke rumah Adang? Untuk apa? Dang Radjo kan  tahu Ratna ndak bisa berjalan, Adang mau mengerjai Ratna, ya?" tuduh perempuan itu dengan nada cukup kesal, khawatir akan diusili oleh sahabat yang akrab dengan sapaan Dang Radjo itu, sebutan untuk pria yang usianya jauh lebih tua dalam bahasa Minang. 

"Tenang, akan aku jemput. Eh, atau besok dibawa ke sekolah saja." 

"Memangnya apa?"

"Masih menjadi rahasia negara. Besok juga Ratna tahu." Setelah mengatakannya Radjo mematikan panggilan tanpa salam. Selain karena signal telepon yang bisa saja langsung terputus, harga pulsa di desa yang mereka tinggali tarifnya juga jauh lebih tinggi dari daerah lain.

Ratna Andini, begitulah nama gadis  tadi, walaupun lahir dengan keterbatasan fisik, dia  tidak pernah mengeluh, semangatnya menekuni bahtera kehidupan yang panjang dan keras ini tak pernah padam. Lahir dalam kondisi kaki yang tak lengkap tak pernah membuatnya kehilangan arah untuk bersekolah. Di desa paling pelosok wilayah Sumatera dengan medan yang terjal, lereng-lereng gunung dan hutan itu, Radjo Langit dan Ratna lahir, hidup, dan mengenyam pendidikan.

Sejak duduk di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah umum saat ini, Ratna selalu bisa membuktikan kualitas dirinya dengan memenangkan banyak sekali Olimpiade matematika. Dia berhasil membuktikan bahwa kekurangan sama sekali tak menjadi halangan seseorang untuk mendapatkan  apa yang mereka inginkan.

Radjo selalu mengatakan dia hanya tak memiliki kaki, bukan otak dan akal pikiran. Katanya juga, zaman sekarang orang sudah tak bekerja dengan tubuhnya, akan tetapi dengan otak dan kecerdasan yang mereka miliki. Hal itu yang senantiasa Ratna ingat dari Radjo.

Dan karena kebersamaan itu pula mulai timbul benih-benih cinta dalam hati Ratna untuk sahabatnya. Sekalipun tak pernah ada sesi pengungkapan semua rasa itu seperti mengalir semakin deras setiap hari. Pria yang berusia dua tahun di atasnya itu memang sering mengusilinya, akan tetapi semua itu tak menjadi alasan Ratna untuk tak jatuh cinta kepadanya.

Karena selama ini hidup bertumpu pada paha, kehadiran Radjo dalam hidup Ratna seperti sebuah anugerah. Ia tak tahu kebaikan apa yang dirinya lakukan hingga Tuhan menempatkan laki-laki baik hati dan tampan seperti Radjo di sisinya, Pria yang bersedia menggendong dirinya setiap hari menuju sekolah. Radjo yang selalu menepati janjinya sejak kecil untuk menjadi kaki bagi sahabatnya.

Akhirnya esok hari datang meskipun begitu lambat  seiring dengan rasa penasaran Ratna terhadap sesuatu yang kemarin Radjo sebut-sebut di telepon. Setelah diminta menunggu cukup lama laki-laki dengan tubuh kurus itu akhirnya berlari ke arahnya sembari mendorong sebuah kursi roda lusuh. Pendaran tawa semringahnya itu seperti sumber bahagia untuk wanita penuh ketidaksempurnaan seperti Ratna. Tawa itu, yang akhirnya membuatnya jatuh cinta. 

"Dapat dari mana?" Ratna memandangi benda itu dari atas ke bawah saat Radjo sudah berada di hadapannya. "Mak Tuah bilang aku boleh membawanya karena dia sudah membeli yang baru," jawab Radjo sambil mengatur napas. Ratna ingin menangis rasanya, akan tetapi inj adalah perbuatan Radjo Si Malaikat, hal mengharukan seperti ini sudah sangat sering dilakukannya.

"Coba sini aku bantu." Dengan sekali ayunan Radjo berhasil memindahkan tubuh kecil Ratna ke kursi beroda itu. "Tapi sekalipun Ratna pakai kursi ini, kan tetap harus Adang yang dorong,” ucap Ratna sedikit parau.

"Tidak masalah. Suatu saat nanti aku pasti akan membelikan kamu kursi roda elektrik yang canggih. Kamu hanya perlu menekan beberapa tombol dan kursinya akan berjalan sendiri."

"Bagaimana mungkin? Harganya bahkan setara dengan harga tanah di desa kita."

"Di masa sekarang semua bisa dibeli dengan uang, Rat. Ndak apa-apa sekarang aku tetap antar jemput kamu, lagi pula aku tidak pernah keberatan," katanya ringan.

"Ah, aku lupa kalau ayah Adang adalah Tuan Tanah," sindir Ratna yang dibalas decakan kesal dari Radjo. "Aku seharusnya tidak berjanji akan menjemput setiap hari kalau disindir begitu, aku kan anak Tuan Tanah," sarkasmenya.

Ratna tak menanggapi ucapan Radjo akan tetapi bibirnya melengkungkan senyum bahagia. Ah, wanita memang munafik pada perasaannya sendiri. "Lagi pula, aku tertarik pada mesin dan teknologi alih- alih matematika kali ini," kata Radjo berkisah. 

"Teknologi?"

"Iya, aku kemarin pergi ke kabupaten untuk membaca buku di perpustakaan. Dan aku membaca bahwa beberapa orang di negara lain dengan keistimewaan sepertimu memakai kaki buatan untuk berjalan."

"Kaki palsu?  Apa maksud Adang Ratna bisa berjalan tanpa kaki? Maksud Ratna, seseorang bisa berjalan tanpa kaki?"

Radjo tertawa sambil mengacak-acak puncak kepala Ratna gemas. "Wajahmu cantik dan kamu pintar matematika, tapi bodoh sekali saat aku bicara tentang sains."

"Ratna, bodoh?" Ratna tentu menyeru tidak terima, sedang Radjo semakin terbahak karena seruan gemasnya. Mereka terus menyusuri sekolah sambil berbicara dan berdebat seperti biasa, bercanda dengan mesra seolah orang-orang di sekitar adalah benda tak bernyawa.

****

Sudah tiga puluh menit Ratna menunggu Radjo menjemputnya untuk berangkat ke sekolah. Gadis itu mulai menekuk wajahnya, pasalnya empat hari telah berlalu dan selama itu juga laki-laki yang akrab dia panggil Dang Radjo itu tak pernah datang untuk menjemputnya. Aneh saja setelah mengatakan tak keberatan untuk melakukan itu dia malah menghilang seperti ini.

 

_____________________________

*) Siti Romlah adalah gadis asli kota Situbondo pengagum hitam dan senyap. Saat ini ia sedang proses terbit novel solo keduanya dan aktif di berbagai komunitas menulis. Jejaknya bisa dilacak di akun instagram dan wattpadnya @romlah1909.