Oleh: Gaharu*


Namaku Aldenaya Gaharu Putri. Gadis introvert dengan hobi melukis dan menulis. Dengan senyum ramah yang kerap disangka aneh oleh orang lain. Tepat seperti kertas usang di antara lukisan. Pena dan kuas yang tak akan serasi dengan petikan senar gitar ataupun mikrofon orasi. Jingga dengan hijau yang menyelimuti, terkesan susah menyamai birunya bahari. Ya, itu cukup mewakili bagaimana diriku ini.
Masa putih abu-abu.
Masa di mana hampir seluruh kisah seru menyerbuku. Tak hanya itu, ada kisah pilu dengan tangisan merdu memelukku. Semua itu seolah telah cukup menjadi bukti kenangan tiga tahun terakhirku.
Masih dengan kertas usang di sudut perpustakaan, aku menorehkan sederetan kisah kecil perjalananku. Awal karir yang tak kusangka akan membuatku tumbuh menjadi sosok penulis tangguh. Hanya berteman kertas dan pena, hidupku seolah sudah lengkap saja. Tapi aku salah, karena setiap orang pasti butuh cinta.
Cinta?
Ah, aku terlalu naif mendeskripsikannya.
Bagiku, cinta adalah tentang semesta. Mengenai segala hal tentang nusantara. Tentang ia sang pencipta. Tentang mereka, teman dan keluarga. Tentang sekolah, ilmu yang dicerna.  Juga tentang kita manusia, makhluk istimewa. Bukan hanya tentang dia yang sering dianggap nyata walau hanya halusinasi saja, kan?
Pertama kali kujejakkan kaki di sekolah ini, semua mimpi begitu nyata di mataku. Dengan canda riang teman sepermainanku, duniaku berwarna elok tak terkira. Ya, walaupun sahabatku hanyalah beberapa orang saja. Tapi sudah cukup membuat sedemikian misteri menjadi fakta.
Aku masih ingat saat pertama kali, Jiya, sahabatku memanggilku di acara pramuka. Gadis berkacamata itu tampak bersahabat. Dengan senyumnya ia mengajakku pada senyuman nyata, bukan lagi ilusi semata.
"Jiya, terimakasih."
"Untuk apa?"
"Kau sudah mau menjadi sahabatku. Aku sungguh senang. Karena masa SMA-ku di sini tak kulalui tanpa adanya kenangan manis."
Sedetik kuingat kalimat itu, yang kulontarkan secara langsung padanya di hari istighosah sekolah. Kutuliskan saja kisah itu dengan senyuman. Pikiranku melayang kembali pada peristiwa di mana aku mengakui adanya cinta pada pandang pertama.
Namanya Kazwan Galih Widharta. Pemuda berahang tegas, lesung pipi, dan senyuman manis yang selalu dibaginya pada siapa pun. Tingkah sopan dan ramahnya yang membuatku bahkan bisa menunduk sopan bila berhadapan dengannya. Entahlah, aku hanya merasa dia punya wibawa yang indah.
"Aru! Awas!" Kazu menerjangku hingga merapat ke dinding lab kimia. Sekian detik kemudian batang pohon jatuh di tempatku berdiri tadi. Aku menutup mata, masih dengan posisi aneh dengannya.
"Kamu gak papa, kan? Aru?" Kazu berdiri di sampingku sambil menatapku cemas. Aku masih menatap kejadian tadi dengan tatapan tak percaya. Kepalaku linglung, pikiranku bingung. Nafasku masih saja menderu. Habis sudah es teh yang kubeli jatuh tertimpa pohon itu.
"Aru?"
"Eh? Iya?" Aku terkesiap. Aku memandang Kazu yang cemas menatapku. Aku yang masih belum mengenalnya saat itu hanya bisa mengangguk patah-patah.
"Syukurlah... Aku kira kamu sudah kesurupan tadi." Ujarnya.
Pikiranku kembali. Aku bingung menatapnya yang sedikit tertawa. Eh? Kok aneh?
"Kau tahu darimana namaku?"
Kazu menoleh. "Kan kita sekelas, Aru. Jangan-jangan kamu tidak mengenaliku?" Tunjuknya tepat padaku. Aku meringis tertahan, menyadari begitu tertutupnya aku ini.
"Ah sudah kuduga. Namaku Kazwan Galih Widharta. Panggil saja aku Kazu." Ujarnya seraya tersenyum.
Aku mengangguk dan berterimakasih padanya. Ia melambaikan tangan, tanda ia akan pergi entah kemana. Sedetik kurasa hangat menjalar di dadaku dan entah mengapa membuatku ingin tersenyum saja saat melihatnya.

Aku melepas pena di tanganku. Menepuk-nepuk pipiku yang mulai memanas saat ini. Ah, aku kembali bernostalgia dengan masa pertama kali mengenalnya. Kazu, sosok pemuda tampan dengan segala tingkah aneh yang membuatku bahagia. Seorang anggota OSIS yang selalu ada di setiap acara sekolah. Seorang wakil ketua kelas dengan segala sikap naifnya. Seorang yang cakap berbicara di depan khalayak umum. Sosok pemuda yang taat beribadah. Bukankah ia terlalu sempurna untukku yang sekedar kertas dan pena?
Memikirkannya saja sudah mustahil bagiku.

Kuputuskan saja untuk terus menulis kisah ini. Entah akan seperti apa novel yang kubuat nanti. Aku hanya ingin merekam kembali jejak lama yang nantinya menjadi sebuah cerita. Tentang kebahagiaan bersekolah di SMA.

Ya, namaku Gaharu. Sejak awal masuk SMA aku selalu ragu memilih jalanku. Tidak, bukannya aku tak mau semua itu. Aku hanya bingung, di mana tempat yang cocok untukku. Dengan hobiku di dunia sastra-seni dan cita-citaku yang berhubungan dengan perhitungan di IPA. Jiya dan Kazu memilihkan jalan tengah untukku. Jurusan IPA dengan passion sastra-seni. Bukankah menarik?
Tapi aku tak yakin dapat mengoptimalkan semua itu. Karena ya, materi di IPA cukup padat menurutku. Juga aku khawatir bila nanti hobiku ini malah menjadi bumerang bagiku.
Aku mulai menulis kembali. Ya, cerpen, hanya sebatas itu. Ada berbagai lomba yang kuikuti dengan memikul tanggung jawab dan kepercayaan dari sekolah. Karena sejauh ini sekolah tahu, bahwa aku suka menulis.

Ada beberapa temanku dengan kondisi serupa. Mereka bahkan jauh lebih hebat dariku, ada yang bisa menulis sebuah novel malah. Darisana aku mulai terpacu untuk terus mengasah hobiku.
Hingga aku tiba di titik ujung.

"Gaharu? Ada proyek untuk membuat antologi puisi dan cerpen. Kamu mau bergabung?" Guru pembina sebuah komunitas dalam asuhan sekolah mengajakku. Aku mengangguk, mencoba untuk menantang diriku sekali lagi. Entahlah, kenapa aku begitu menyukai tantangan.

Aku bertemu kawan baru. Kawan dengan hobi dan semangat serupa denganku. Kawan yang banyak membuatku belajar soal banyak hal. Ya, walau aku tidak terlalu dekat dengan mereka. Tapi aku sudah merasa punya ikatan erat dengan mereka.

"Aru, kamu gak mau nulis cerpen? Cerpen yang ada baru satu. Kalau mau nulis, nulis saja." Ucap Tirta.
"Gak tau, Ta. Aku bingung. Ada beberapa deadline lomba yang harus kutuntaskan. Tapi, aku usahakan untuk menuliskan barang satu atau dua cerpen."

"Semangat, Aru. Aku yakin kamu pasti bisa."

"Terimakasih, Ta." Aku tersenyum menyahutinya.

Akhirnya, tibalah aku di sini. Berkutat dengan pena dan beberapa buku yang kuambil di rak sejarah dan agama. Di sela-sela kesibukanku untuk membuat riset guna menjadi bahan proyek novelku, aku sempatkan diriku menulis ulang kisah di SMA ini.

Kenapa kisah di SMA?

Tirta bilang, tema cerpen yang harus kutulis harus berhubungan dengan sekolah. Begitu pula puisi-puisi di dalam antologinya nanti. Baiklah, dengan tema cinta di ujung sekolah, aku mulai mendefinisikan tentang cintaku di masa putih abu-abu ini. Iya, benar-benar kisah cinta yang kutulis.
Pintu perpustakan terbuka. Seorang pemuda masuk, masih dengan senyum yang tak hilang di wajahnya. Ia berjalan menuju mejaku dan duduk di sebelahku. Aku menolehkan kepala dengan bingung ke arahnya.

"Kenapa?"

"Cuma mau lihatin calon masa depanku saja." Ujarnya menggodaku.

Kuusap kasar wajahnya agar ia tersadar dari mimpinya itu. Aku tertawa kecil dan mencibir ucapannya. Sebaliknya dia malah cemberut tak suka.

"Eh, benar lho, Ru."

"Terserah." Aku kembali sibuk dengan penaku. Memilih tak mengindahkannya yang kini malah semakin cemberut menatapku.

"Aru kok gitu, sih? Kazu kan cuma bercanda. Ayolah, Ru... Jangan cuekin Kazu, dong..." Rengeknya persis seperti anak kecil meminta mainan.

"Apa sih, Zu? Siapa yang cuekin kamu?" Aku tertawa melihatnya.

"Makanya ayo ngobrol bentar sama Kazu. Itu penanya ditinggal dulu, sudah hampir setengah hari kamu berduaan dengannya. Aku dianggurin, nih." Kazu berdiri dan menarikku keluar. Aku hanya bisa pasrah mengikuti sembari tertawa kecil melihat tingkahnya.

"Kenapa sih, Zu? Kok tiba-tiba jadi manja begini? Lah, Jiya kemana?" Aku menolehkan kepala kesana-kemari. Kami sedang berada di depan lapangan basket. Menatap lapangan yang sepi karena panasnya matahari.

"Aku larang dia ikut, Ru. Tadi dia merengek. Ya nasib, aku harus mengorbankan es tehku untuk dia hanya untuk menahannya di kelas." Ujar Kazu nyengir padaku.

Aku jitak kepalanya saat itu juga. Entah kenapa merasa gemas sendiri dengannya.
"Kok dijitak sih, Ru?" Sungutnya.

"Lagian, kenapa gak diajak aja sih sekalian? Kita kan selalu bertiga, Zu."

"Hehe, aku pengen berdua dulu denganmu."

Sontak pipiku memanas. Secepat mungkin kualihkan wajah agar ia tak tahu aku merasa aneh saat ini. Kazu... Selalu saja membuatku aneh bahkan hanya dengan lawakan recehnya.

"Gini, Ru. Kita sebentar lagi kan lulus, nah, aku mau punya kisah berdua bersamamu. Di ujung sekolah ini, di penghujung masa putih abu-abu kita." Kazu menatapku dalam. Entah kenapa aku merasa keluh.

"Kisah apa?"

"Seperti yang aku bilang tadi. Kamu. Masa. Depan. Aku."

Aku terdiam. Eh? Ini... Maksudnya... dia...

"Iya, aku ingin kamu jadi salah satu masa depanku, Ru. Bersama meniti masa depan denganku. Bukan hanya sebagai sahabat, tapi lebih dari itu."

Sejenak aku menunduk. Dadaku berdegup kencang. Wajahku memanas. Ah, aku merasakan gejala-gejala salah tingkah bila ditembak oleh seorang yang disuka, setidaknya begitu menurut Jiya dan Tirta.

"Kamu... bersedia, kan?"

Aku menatapnya kembali. Tampak dia menunggu jawabanku. Akhirnya aku tersenyum dan mengangguk. Lihat, betapa bahagianya Kazu saat ini. Ia bahkan sudah melompat-lompat seperti monyet di lapangan.

"Hei, kau lama-lama lebih mirip monyet daripada Kazwan Galih Widharta yang kukenal, Zu!" Seruku dari pinggir lapangan.

"Tidak apa, Ru! Yang penting kisah di ujung sekolahku bahagia! Terimakasih Gaharu!"
Aku menangguk dan tersenyum lebar menatapnya.

DN

Situbondo, 12 April 2020
-Gaharu-

-----------------------------------------------------------

Penulis 

*) Gadis Bernama pena Gaharu yang tinggal di kota kecil di ujung timur Pulau Jawa. Berkelahiran pada hari ketujuh bulan kedua di tahun ketiga abad 21 yang memimpikan kebebasan dan beragam imajinasi di kepalanya. Masih mengenyam pendidikan  semester awal di Institut Seni Indonesia Yogyakarta jurusan Seni Murni dengan tujuan agar kelak bisa membuat anime atau manga yang bisa membuatnya menuju negeri Sakura.

 Ilustrator 

@novidina18 perawat cakacnca.id., belum punya buku nikah. Bisa gambar karena Alip