oleh : Anis Marsela*


         Melahirkan selalu identik dengan perempuan, ya itu karena hanya perempuan yang memiliki rahim. Katanya, perempuan hanya terlihat sempurna jika dia sudah melahirkan. Sampai saat ini pun, aku belum tau siapa yang mencetuskan peraturan tersebut setidaknya itulah yang masyarakat percaya. Banyak anak banyak rezeki. Pernyataan ini seringkali menjadi pembenaran bagi mereka yang haus akan sex. Dalam Islam setiap bayi yang dilahirkan tentu sudah di atur rezeki, jodoh, dan maut. Tapi ada banyak orang yang menutup mata dengan kebenarannya. Kebenaran bahwa membentuk manusia tidak sesederhana dikasih makan saja. Moral dan mental mereka juga harus di perhatikan.


             Seiring berkembangnya zaman, pernyataan banyak anak banyak rezeki sudah mulai tergantikan dengan kalimat child free.  Hal ini menuai pro dan kontra dari kalangan masyarakat, Saya pribadi sangat setuju dengan pemikiran ini. Siapapun pelopornya, you did a great job dude!  Child free awalnya diterapkan oleh bangsa Eropa, namun sejauh ini ada juga beberapa masyarakat Asia yang menerapkan child free termasuk publik figur. Berbicara mengenai child free, keinginan untuk tidak memiliki anak bagi pasangan bukanlah suatu hal yang buruk. Karena memiliki anak tidak hanya perihal melahirkan seonggok bayi, untuk membesarkan seorang bayi dibutuhkan banyak persiapan.


             Setiap anak tidak pernah meminta untuk dilahirkan, bahkan tidak bisa memilih untuk dilahirkan oleh orang tua seperti apa. Untuk itu, sebelum memutuskan untuk memiliki anak orang tua harus siap mental dan finansial. Memikirkan biaya sandang, pangan, dan pendidikan untuk waktu jangka panjang. Memilih untuk child free sampai benar-benar siap, saya pikir itu pilihan yang tepat. Karena waktu luangnya bisa dimanfaatkan untuk mempersiapkan finansial, atau bisa juga menyembuhkan luka yang disebabkan oleh trauma masa lalu. Menemani innerchild yang masih membutuhkan kasih sayang dan perhatian, sehingga tidak gampang melampiaskan kemarahannya pada anak.


         Bagi penduduk desa, Pemikiran untuk tidak memiliki anak masih terdengar tabu. Mereka meyakini bahwa memiliki anak itu sebuah takdir meskipun tidak ada persiapan untuk membesarkan seorang bayi. Kasus ini terjadi pada tetangga saya, perempuan berinisial MS memiliki 11 anak (terkadang saya memanggil keluarganya dengan sebutan Gen Petir). Tetapi sangat disayangkan, suaminya tidak mau menafkahi keluarga. Bapak dari 11 anak ini bekerja sebagai nelayan, dan penghasilannya hanya di simpan untuk dirinya sendiri.


           Untuk mencukupi kebutuhan anaknya, ia meminjam uang kepada tetangga. Tidak jarang meminta - minta makanan. Untuk Pakaian? Ia selalu menerima pakaian bekas dari tetangga yang masih layak dipakai. Pendidikan anaknya pun terbengkalai, ada satu anak yang sudah menikah dini. Kalau suatu saat nanti, perempuan yang kisahnya saya ceritakan, mempunyai waktu untuk membaca tulisan ini. Bu, saya tidak ada niatan buat ikut campur terhadap masalah keluargamu. Hanya saja, ibu masih memiliki kesempatan untuk meninggalkan suami toxic seperti suamimu. Bekerja di pabrik udang seperti yang dilakukan 20% ibu-ibu di desa kita misalnya, atau bekerja di manapun yang ibu mau sekedar menghidupi keluarga. Mulai menata kembali hidup dan fokus membesarkan anak-anaknya.


               Kasusnya mendapatkan simpati dari tetangga sekitar, dan tidak jarang menjadi perbincangan hangat. Di satu kesempatan saya pernah membahas nasib malang tersebut kepada  sesama guru di sekolah, kebetulan salah satu putranya merupakan siswa di sekolah tempat saya mengajar.  "Kalau tidak siap memiliki anak atau masih bingung bagaimana cara memberikan makan, kenapa memutuskan untuk melahirkan terus menerus?", kata saya. Ada satu guru perempuan yang merespon ucapan saya "loh, punya anak itu sudah takdir dik". Saya tidak menimpali lebih panjang, mungkin ia belum mengenal istilah child free, atau melupakan istilah KB (keluarga berencana) 2 anak cukup.


             Tidak ada seorang ibu yang berkorban demi melahirkan anaknya, atau seorang bapak berkorban membesarkan anaknya. karena kelahiran seorang anak merupakan keinginan mereka. Apapun resikonya mereka harus siap untuk itu. Saya mengatakan ini, bukan berarti memprovokasi semua anak untuk tidak berbakti kepada orang tua mereka. Berbakti kepada orang tua merupakan kewajiban tetapi,  mereka tidak berhutang apapun atas kehadirannya. Untuk setiap anak, kalau orang tua mu sudah memilih untuk melahirkan mu, dan bertanggungjawab untuk membesarkan mu. You are the choice then!

 ________________________


*) Anis Marsela, Lahir di Situbondo, 06 April 2002. Saat ini menempuh pendidikan di Universitas Abdurachman Saleh Situbondo. Ia merupakan seorang guru di Madrasah Ibtidaiyah. Selain menulis, ia sangat suka membaca novel, cerpen, dan menonton film fantasi. Penulis bisa di jumpai lewat akun sosial media Instragramnya @ce.cillia_ dan Gmail aniscella20@gmail.com