Penulis: Sarifah Aini*

Hari itu aku menikmati weekend bersama orang yang paling aku cintai dan orang yang akan aku nikahi di hari Senin. Aku mengajaknya bersenang-senang menikmati hari minggu di Dufan bersamanya, sebelum menikah. Dia adalah Tanu, wanita yang paling sempurna dan aku kagumi. Kami sudah saling kenal sejak kami kecil, dulu kami bersahabat, hingga akhirnya kami memiliki rasa suka terhadap satu sama lain.

“Udah yuk, pulang, mau sore nih”, ajakku kepadanya.

“Ihh! katanya boleh senang-senang sepuasnya, sampe malem bahkan! huhh!”, Tanu mendengus kesal sambil melipat tangannya di dada.

“Tapi besok kan hari penting, kamu gak boleh kecapekan..”, aku mengelus kepalanya.

“Kalo udah nikah aku janji bakal temenin kamu main sepuasnya disini sampe malam bahkan aku tetep temenin”, bujukku kepadanya.

“Janji?”, Tanu mengangkat kelingkingnya kearahku pertanda permintaan ketepatan janji kepadaku.

“Iyaa, janji”, aku mengkaitkan kelingkingku di kelingking Tanu. Wajah Tanu nampak berseri-seri tanda bahagia.

“Aku benar-benar tidak sabar Rishi..”, ucapnya lembut sambil memelukku dengan erat.

“Kalo pendek gak usah sok-sokan mau meluk, lihat tuh kakimu sampe jinjit, ahahahaha”, aku meledek calon istriku itu.

“Ih apaan sih!”, Tanu mencubit pipiku dengan keras, sampai aku merintih kesakitan.

“Rasain tuh, gak akan kupeluk lagi kamu, huh”, dia merasa kesal lagi dan mulai membuang mukanya.

“Duhhh, lucu banget sih calon istriku ini”, aku mencubit kedua pipinya dengan lembut, dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Aku pun menggandeng tangannya dan mengajaknya pulang.

Tak lama setelah itu tiba-tiba tangan Tanu lepas dari genggaman tanganku, aku refleks menoleh ke arah Tanu.

“Tanu!!??”, aku berbicara sedikit berteriak memanggil namanya.

“Disini Rishi”, teriak Tanu yang jongkok di tengah jalan.

“Tanu!! kamu ngapain disitu, bahaya! cepat kesini!”, teriakku sambil menghampiri Tanu.

Tanu segera berdiri dan membalikkan badannya ke arahku, aku melihat dia tengah menggendong seorang anak kucing kecil, dia menatap mataku, aku tau itu tatapan apa. Aku pun mengiyakan permintaan membawa anak kucing itu pulang. Tanpa aku sadari ternyata kami sudah lumayan lama berdiri di tengah jalan itu, tiba-tiba suara klakson mobil datang dan terdengar dekat, aku langsung menoleh ke arah sumber bunyi itu. Terlihat mobil yang bannya ke arah kekanan dan kekiri seperti kehilangan kendali atau rem yang blong semakin mendekat ke arah kita berdua.

Tiba-tiba Tanu memberikan anak kucing itu ke dadaku, aku kaget dan langsung memegang anak kucing itu, tiba-tiba badanku terdorong kebelakang. Tanu mendorongku dengan kuat sampai badanku terhempas di pinggir jalan. Aku melihat Tanu yang tersenyum tulus dan melambaikan tangannya, aku melihat air mata yang menetes dari mata Tanu.

“TANU!!!”, BRAK!, mobil itu menabrak seorang wanita berambut panjang lurus yang memakai drees putih bersih selutut bernama Tanu, orang yang sangat kusayangi dan cintai. Mobil itu kemudian menabrak pohon besar di pinggir jalan sangat keras, aku tidak peduli dengan orang yang ada di dalam mobil itu. Air mata terus mengalir di mataku, dengan cepat aku berlari ke arah Tanu dan duduk disampingnya, aku memangku kepala Tanu dan mengusap dahinya yang penuh darah.

“Tanu! Tanu! bangun, aku mohon bangun! jangan tinggalkan aku sendirian Tanu”, aku menepuk-nepuk pipi Tanu berharap Tanu bisa tersadar, air mata terus mengalir.

“R-rishi…”

“HAH?! Tanu?, syukurlah kamu masih tersdadar, ayo bangun, kita ke rumah sakit ya?”, tanyaku dengan suara yang tersenggat-senggat. Padahal melihat luka parah yang ada di Tanu itu rasanya tidak mungkin bisa membawanya ke rumah sakit, tapi aku menutup rapat pemikiran itu, aku tidak mau kehilangan wanita yang aku cintai.

“Ti-dak.. Rishi, i-tu tidak mung-kin, aku akan pergi meninggalkanmu…”, suara Tanu yang sekarat itu membuat air mataku mengalir deras.

“Dengar i-ni baik-baik Ri-shi, meski ak-u meningg-alkanmu se-sekarang, aku akan datang lagi di kehidupanku selanjutnya dan menemanimu sampai ak-akhir juga”, senyum Tanu terukir indah di tengah kematiannya itu, tangannya memegang pipiku, berusaha mengusap air mataku. Aku memegang balik tangan itu, aku menciumnya berkali-kali.

“Kumohon jangan tinggalkan aku Tanu, aku benar-benar tidak bisa hidup tanpamu”, tangisanku pecah kembali.

“Rishi.. apakah kamu ti-tidak mendengarkan perkataanku tadi? ja-jan-gan membuatku kesal di detik-detik terakhir”, Tanu mencubit pipiku, tapi cubitan itu tidak terasa sama sekali.

“Aku akan kembali kepadamu, menikmati hari-hari ber-ber samamu, dan keti-tika aku kembali, ja-jangan lu-lupa mene-nepati jan-ji mu ta-tadi ya?”, suara Tanu semakin tersenggat-senggat, ajal semakin dekat. Mata Tanu terlihat sayup-sayup ingin tertutup, aku merasa panik, dan terus memanggil-manggil namanya. Aku berteriak minta tolong ke segala arah tapi tidak ada seorang pun yang datang, aneh.. apakah ini yang namanya takdir?.

“Rishi…”, suara Tanu terdengar kembali.

“Sudah Tanu, jangan banyak bicara aku mohon, kamu tunggu disini ya, aku akan nyari bantuan”, ketika aku hendak meninggalkan Tanu, Tanu memegang celanaku, pegangan itu terlihat lemas, aku langsung duduk kembali dan memangku kepala Tanu kembali.

“Kumohon, te-temani aku di detik-detik terakhir ku ya Rishi”, aku hanya bisa tertunduk sedih sambil memegang erat kedua tangan Tanu.

“Rishi... aku men..cintai..mu..”, suara itu terdengar pelan, bersamaan dengan menutupnya mata Tanu dan genggaman tangan Tanu yang lepas dari tanganku, melihat itu aku berteriak keras dengan isak tangis yang terus berlanjut.

“TANU!!! TIDAK!!!”, aku berteriak keras menghadap ke atas langit, merasa tak percaya dengan apa yang telah terjadi hari ini. Seharusnya ini adalah weekend yang menyenangkan, sebelum kami akan menikah. Tak lama setelah itu datang beberapa orang yang lewat jalan itu dan terkaget melihatku memangku seorang wanita berlumur darah dan mobil yang tertabrak pohon itu.

Orang-orang itu segera mendekat dan menolongku. Aku hanya bisa termenung

“Kenapa tidak dari tadi kalian datang kesini? Kenapa Tuhan?”, ucapku pelan.

Apakah ini yang dinamakan takdir. Sejak kejadian itu aku membenci hari minggu dan menghabiskan waktu sendiri, termenung di Dufan mengenang kenangan indah bersama Tanu. Selama bertahun-tahun aku tidak menikah, menolak tawaran menikah dari siapapun, aku tetap menunggu janji dari Tanu untuk kembali.[]


*Sarifah Aini lahir di Kota Bondowoso, 31 Agustus 1997. Saat ini sedang sibuk di dunia real atau nyata yang menjadi seorang ibu rumah tangga. Selain itu sibuk di dunia kepenulisan demi Cita-citanya. Pesan Ali bin Abi Thalib yang membuatnya semangat untuk menulis yaitu “Semua penulis akan mati. Hanya karyanyalah yang akan abadi. Maka tulislah sesuatu yang membahagiakan dirimu di akhirat nanti.” Beberapa karya antologi yang lain yaitu “Luruhnya Sang Patera” yang diterbitkan Medaca Aurora Publisher dan “Impian Menjadi Nyata” penerbit Rangga Collection. Masih banyak lagi entah berapa antologi, satu buku solo Mau sharing? Kenalan? Pembaca bisa menghubungi melalui: Facebook : @Penulis Receh, KBM : @Sarifah31 & YouTube : Sarifah31.