Oleh : Wilda Zakiyah*

Sesuatu telah terjadi. Pada kita atau boleh saja menyebutnya aku dan kamu. bukan berarti kita benar-benar berpisah. Kita hanya memberi jeda, memberi ruang untuk rindu menyapa. bisa jadi kita bukanlah pasangan yang romantis. Dan aku bahagia-bahagia saja dengan kita yang begini adanya. 

Pagi yang semakin tua, memaksaku untuk berkunjung ke rumahmu. Tanpa memberi tahu bahwa aku akan datang. Pertemuan terakhir sebelum aku menghadapi ujian kuliah selama seminggu, dan dalam kurun waktu seminggu itu kita tidak akan saling berkabar dan menahan kangen sama sekali.

"Apa ini yang terakhir?" katamu.

Ah, aku tidak mau menyebut ini terakhir, karena aku masih ingin bertemu denganmu. Besok, besok, besok, dan besoknya lagi, dan besoknya lagi dan besok besoknya lagi. Aku ingin terus bertemu. Pun saat kamu menolak.

"Ponselmu aku yang pegang" kataku menyela.

kamu hanya diam. Tidak ada gerutu. Tidak ada penolakan. Dan ponsel itu sudah masuk ke dalam tasku. Lantas aku pergi.

aku berpikir hidup ini seperti ring tinju, cepat atau lambat kita pasti jadi samsak. aku dan kamu tidak jauh berbeda. Memikirkan keuangan, masa depan, keluarga, impian-impian semacam membangun rumah kecil dengan bunga-bunga dan sayuran, perpustakaan mini untuk keluarga kita dan anak-anak tetangga untuk membaca, lebih-lebih kebersamaan. Kita harus memikirkan itu semua dari waktu sedini ini. seperti dendam kita yang masih seusia jagung.

Siang yang panas. Sama panasnya seperti keadaan hatiku setelah membaca serentetan cerpen-cerpenmu tentang mereka yang sempat singgah. Rumahmu semakin nyeri. Dada yang semakin sesak memaksaku untuk terus tersenyum sambil menemanimu mengotak-atik kenangan yang sudah-sudah.

Apa aku cemburu? tidak. Aku tidak cemburu seperti yang kamu tebak. Aku menyesal. Yah, aku menyesal tidak menjadi perempuan yang baik seperti perempuan di dalam cerita pendekmu. Harusnya aku lebih berusaha lagi, harusnya aku lebih berjuang lagi untuk mendapatkan hati, pikiran, dan seluruhnya. Pertanyaannya, apa aku egois? rasanya iya. Aku terlalu ambisius mencintaimu. Bahkan saat menuliskan ini aku begitu menggebu-gebu. Aku mencintaimu. Jika kau menganggap aku menyesal memperjuangkanmu, itu salah besar.

Aku akan lebih menyesal dan akan begitu kalau kamu tidak melihat ke arahku sama sekali. Apa aku tidak semenarik itu untuk dilihat? Nanti aku akan lebih menjaga penampilan agar kamu mau menatapku dalam-dalam sampai tidak punya keinginan berkedip. Semoga saja berhasil. haha.

Aku mulai berusaha menjadi perempuan feminin. Perempuan yang benar-benar perempuan. Demi membuatmu jatuh cinta kepadaku lagi, lagi, dan lagi, dan lagi. Sampai kamu tidak bisa menghitung berapa kali kamu jatuh cinta padaku.

hari kedua setelah kita benar-benar berpisah, kita tidak lagi saling menyapa. Aku yang semakin sibuk dan kamu yang entah.

hari ketiga sama, meski kamu mengirim satu kalimat semangat untuk ujianku lewat ponsel adikmu, aku tetap abai. Bukan karena aku menjauh, aku hanya memberimu waktu menyelesaikan bagian-bagianmu dalam hitungan hari yang semakin tandas.

apa hari keempat tetap sama? mungkin iya, dan mungkin saja tidak. Bagiku hari pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima dan seterusnya adalah hari jatuh cinta. Apa cinta perlu alasan-alasan?

katamu; Ada beberapa hal di dunia ini yang tidak bisa dijelaskan.

Yah, benar sekali. Aku tidak bisa menjelaskannya, entah secara gamblang atau pada intinya. Mencintaimu tidak butuh alasan pun penjelasan.

tepat di hari terakhir dalam hitungan minggu. Waktunya ponselmu kembali, Waktunya kita mulai berkomunikasi.

Seseorang berpakaian rapi menerabas pagar rumahmu, mengetuk pintu cokelatmu dengan tenang. Kamu keluar dengan wajah kusam yang sama kusamnya seperti baju yang kamu kenakan.

"Cari siapa, Mas?"

"Apa benar ini rumah Bapak Haikal Ahmad?"

"Betul, saya sendiri"

"Ini ada kiriman atas nama anda."

Buru-buru kamu menerimanya. membuka dengan tidak sabar. sebuah ponsel tergeletak rapi di dalam kardus. Kamu mengerutkan kening, bertanya dalam hati dan heran.

"Ibu Azky sudah meninggal."

Kata orang tersebut. Dan dia pergi meninggalkan pekarangan rumahmu. Kamu mengambil ponselmu, lalu seketika...

-Duuaaaarr-

Bom telak meledak. Membuatmu terbunuh. Hanya kamu, karena semua keluarga tidak ada di rumah. lalu kita benar-benar saling berkomunikasi di tempat yang tenang. Setenang aku jatuh cinta.

(Cerita ini adalah hasil dari kegilaan penulis).


__________


*) Penulis yang sedang menunggu buku nikah rilis dari KUA