Oleh : Chita Rossicha Nuravrida*

Gendhis gadis Jawa nan elok, dengan jari lentik ia mengangkat cangkir berisikan teh mawar penuh aroma pekat kenangan antara masa muda lugunya dengan pria Belanda dihadapannya. Senyum kecil tanpa Gendis sadari muncul begitu saja membuat sudut bibirnya terangkat. Sementara pria dengan wajah tenang di hadapan gadis itu menatap Gendhis dengan mengerutkan kening. Rambut coklat lembut itu bergoyang seirama hembusan lembut angin musim hujan. Netranya tak lepas dari tangan Gendhis yang hendak memasukkan gula ke dalam cangkir tehnya.

“Cukup, ini sudah cukup untukku.” Pria tampan berbalut kemeja putih rapi yang dikenal dengan nama Darius, menggengam lembut berusaha menahan balok gula batu memasuki teh Chamomile miliknya. Gendhis tersenyum tipis seraya menyingkirkan gula di hadapannya, gadis itu berbalik menatap cangkirnya. Kenangan berputar seperti kelopak di dalam cangkir teh mawarnya, menarik Gendhis ke 5 tahun lalu silam di penelisikan tanah Jawa.

Wanita tua berusia akhir 80 an, bersenandung setiap senja hingga para warga menyebutnya ‘suara petang’, nenek Jumila nama wanita tua berkebaya hijau dengan selendang batik usang membalut tubuhnya. Bukan karena anak-anaknya mengabaikan wanita itu, tapi entah mengapa nenek Jumila memilih untuk setia dengan selendangnya. Gendhis yang menjadi cicit wanita tua itu sering mendengar bagaimana kisah perjuangan pria yang disebut neneknya ‘pahlawan tanpa lentera’, pria yang tampak mengagumkan dan hebat di setiap cerita neneknya tiap malam dan di tutup dengan senandungan merdu nenek Jumila selalu mengantarkan tidur Gendhis. Gendhis secara tidak langsung begitu mengagumi sosok pria di setiap cerita sang nenek, entah karena neneknya yang pandai merangkai kata atau memang dia adalah pria yang mengagumkan.

Tanah Jawa yang penuh dengan misteri membuat Gendhis tertarik menyikap isi didalamnya. Bermodalkan keyakinan Gendhis telusuri jalanan kota tua berbatu mencari kepingan kisah yang mungkin tercecer. Ia tak peduli sebesar butiran pasir atau batu sungai, setidaknya tanah kelahiran sang nenek begitu menakjubkan di dunia kecil Gendhis. Proyek tugas akhir guna mendapat gelar sarjana, saat ini menjadi bayangan semu bagi Gendhis. Hampir tidak ada yang ia dapatkan dari sisa puing ingatan masyarakat yang mulai pudar, tak dapat yang dipaksakan untuk kembali melukis luka yang telah di balut dengan susah payah. Pasar dengan keramaiannya kegiatan tawar menawar dan terkadang teriakan para penjual tua mempromosikan dagangannya dan berbanding terbalik dengan keramaiannya ujung jalan dengan lampu temaram tiap petang Gendis duduk disana memeriksa kembali hasil penelusurannya, berharap setidaknya ada sedikit celah di antara bebatuan yang telah ia susuri, hingga hari hujan datang membuat gadis cantik itu diharuskan berlari memeluk kamera yang ia gunakan untuk menangkap keindahan kota setidaknya masih ada cahaya kota yang masuk ke dalam susunan laporan miliknya. Rumah di ujung jalan menjadi tujuan Gendhis, tempat yang ternaungi pohon trembesi dengan hiasan meja teh nan elegan di samping kolam ikan. Air hujan mengejar gadis itu, tak ingin melewatkan tubuh kecil Gendhis, udara dingin yang menyerang, membuat Gendhis berharap setidaknya akan ada tuan rumah yang menawarinya secangkir teh panas, tak peduli itu akan menjadi teh oolong ataupun teh hitam. Gendhis meringkuk memeluk lututnya, berusaha mencegah hawa dingin sampai setidaknya ada angkutan kota yang membawanya.

Rumah yang menjadi tujuan Gendis setiap hujan turun, kali ini menjadi objek yang berbeda. Pemandangan rumah yang hanya berhias lampu tua yang mungkin akan mati jika ayam menabraknya. Tetapi ketika lampu temaram tergantikan oleh matahari pagi, entah mengapa tempat itu bagaikan negeri dongeng yang sering ia lihat di buku, tempat yang penuh dengan bunga yang mekar sebab sentuhan embun pagi, kolam dangkal yang berisikan ikan koi dan meja teh dari kayu jati. Gendhis yang terpesona, tanpa sadar menginjakkan kakinya ditempat itu setelah membeli nasi pecel di pasar kota tua. Duduk di kursi depan meja teh sembari membuka daun pembungkus nasi yang mengeluarkan aroma sedap. Baru saja gadis itu akan menyuapkan nasi pertamanya, suara berat seorang pria berhasil membuat tahu gorengnya kembali ke atas daun.

“Lady?” suara pria membuat Gendhis mematung beberapa saat, pria tinggi berkemeja putih menarik perhatian Gendhis, tampan adalah hal pertama yang terlintas di benaknya.

Rambut cokelat dan mata biru yang bersinar di bawah cahaya matahari pagi cukup untuk membuat Gendhis jatuh hati. Termenung Gendhis beberapa saat hingga ia tersadar dan segera bangkit dari duduknya. Sejenak ia berpikir harus seperti apa membalas sapaan pria dengan tampang asing tanpa muatan lokal itu.

“Hai, sorry i....”, senyum pria yang begitu lembut membuat Gendhis tanpa sadar kembali diam membisu.

“Tak perlu seperti itu, aku cukup baik berbahasa Indonesia.” Tatapan tak percaya dengan mata yang membulat dari Gendhis menciptakan kurva di bibir pria itu.

“Saya Gendhis, maaf jika duduk disini tanpa permisi.” Begitu memalukannya pagi ini, Gendhis belumlah mandi dan kini dihadapannya tengah berdiri pria tampan. Ini akan terliat seperti cumi-cumi dan mutiara dalam lautan.

Pertemuan yang tidak di sengaja itu membuat hubungan keduanya terjalin cukup erat, meski sedikit memalukan di awal. Pria penyuka teh itu bernama Darus, Gendhis baru saja mengetahui namanya dari perkenalan singkat setelah beberapa topik mereka bicarakan. Darius seorang pria Belanda yang penuh dengan pengetahuan akan tanah jawa, tidak hanya itu yang membuat Gendhis terkagum bahkan dialeg Jawa Darius pula nyaris sempurna, semua tentang Darius tidaklah dapat dikatakan lelucon. Mengetahui kesulitan yang dialami Gendhis tanpa celah sedikitpun Darius menceritakan berbagai kisah dibalik tanah Jawa yang begitu Gendhis butuhkah. Terasa janggal pada awalnya pria berusia pertengahan 20 tahun memiliki pengetahuan seluas itu, sampai Darius mengatakan tentang tujuannya datang ke tanah Jawa ialah untuk menulis Jurnal penelitian. Tak tau lagi bagaimana Darius telah menghabiskan waktu dan tenaganya untuk mengunpulkan semua itu, namun Gendis merasa mendapatkan keberuntungan seumur hidup dengan bertemu Darius di antara keantikan kota tua.

Seiring berjalanya waktu mereka yang kian dekat membuat Gendhis semakin sering datang hanya sekedar guna melihat wajah Darius. Walaupun tugasnya telah rampung rasa rindu pada sosok Darius membuat Gendhis terus melangkahkan kakinya ke rumah berkarakteristik bangunan tua nan indah. Menikmati sore hari di taman sembari menatap Darius yang menyesap tehnya, pemandangan menakjubkan yang ingin Gendhis jadikan sebagai rutinitas. Keseharian Darius yang selalu menikmati teh camomile di taman samping kolam yang terisi penuh air hujan, yang Gendhis tau adalah tempat favorit pria itu. Dengan rasa penasaran yang telah lama ia simpan, Gendhis mendekati Darius yang tengah menyesap teh paginya.

“Darius, mengapa kau memilih Jawa sebagai bahan jurnal penelitian? Bukankah banyak tempat lain yang juga menarik?” Dentingan cangkir teh yang baru saja Darius letakkan menarik perhatian Gendis.

“Karena banyak bangsa kami yang datang kemari, itu sebabnya aku tertarik dengan tempat ini.” Gendhis paham dengan apa yang dimaksud Darius, bukanlah turis yang datang untuk sekedar membeli cindramata, namun ada bagian lain yang pernah datang membawa pergi tanah Jawa. Sejarah yang membawa Indonesia hingga titik ini, bagaimana bangsa yang dimaksud oleh Darius pernah memporak porandakan tanah indah yang begitu Gendhis kagumi.

“Jadi, apakah hanya itu alasannya?” Darius menarik senyum dan manatap lekat mata coklat Gendhis.

“Karena gadis Jawa sangat cantik.” Entah mengapa Gendhis merasa hal itu hanya bualan manis yang Darius berikan. Tetapi apakah ini efek karena kalimat itu diucapkan oleh pria tampan? Pipi Gendis rasanya akan terbakar saat ini. Tolong siapapun bawa gadis Jawa ini pergi sebelum menggigit gemas Darius yang masih menatapnya.

Siang hari dengan udara yang tidak terlalu panas, Gendis yang sedati tadi sibuk di dapur guna menyiapkan secangkir teh untuk nenek Jumila sesekali tersenyum kecil. Teh yang tengah ia seduh merupakan resep dari Darius yang secara khusus di tunjukkan padanya. Bunga chamomile dengan sedikit madu diseduh dengan air panas adalah obat mujarab untuk insomnia. Nenek Jumila yang juga memiliki masalah tidur membuat Gendhis berinisiatif untuk menyajikan teh ini pada sang nenek, setidaknya ia berharap sang nenek dapat tidur dengan nyaman setelah hari panjang yang melelahkan. Teh yang masih mengeluarkan uap, tersaji di meja kayu disamping tempat nenek Jumila duduk. Aroma yang menyeruak dari dalam cangkir membuat wanita tua itu menoleh dan menatap lekat bunga yang mengambang di permukaan air berwarna keemasan.

“Apa ini?” Pertanyaan nenek Jumila membuat Gendhis tersenyum, ia begitu bersemangat ingin menceritakan tentang orang yang memberinya resep teh ini. Gendhis yang semakin terbuai akan Darius menceritakan sosok pria menawan in kepada sang nenek, bagaimanapun Darius adalah pria pertama yang berhasil meluluhkan gadis itu setelah 23 tahun lamanya.

Pria Belanda dengan senyuman Indah dan sifat yang begitu sempurna, mungkin saja bunga akan iri dengan seri sempurna wajah putih itu yang tampak mengagumkan di pagi hari. Dengan senyum yang tidak hilang hingga akhir, Gendis terus menceritakan pria itu kepada sang nenek. Tidaklah menunjukkan raut senang, nenek Jumila justru menunjukkan raut wajah ketakutan. Gendhis yang melihat ekspresi itu mendekati sang nenek dengan secara perlahan menggenggam tangan wanita tua itu.

“Simbah?” Gendhis takut hal buruk terjadi pada sang nenek, sebab sedang tidak ada siapa pun di rumah. Paman Gendis yang tengah pergi menemui pengepul cabai mungkin baru akan kembali malam nanti.

Wanita tua itu berteriak dan mulai meninggalkan Gendhis. Tangan Gendhis yang di tepis nenek Jumila masih membuat gadis itu berusaha mencerna hal yang terjadi saat ini. Tak ada petunjuk maupun jejak ke arah mana nenek Jumila pergi, namun entah mengapa pikiran Gendhis tertuju pada suatu tempat yaitu kediaman Darius. Setidaknya ia ingin meminta tolong pada pria itu guna membantunya mencari nenek Jumila.

Namun setibanya Gendhis di kediaman Darius hal yang tak pernah Gendhis bayangkan sebelumnya membuat gadis itu terbungkam seribu bahasa. Gendhis menatap Darius yang berdiri tegak tak jauh dan meja kayu yang selalu ia gunakan meminum teh sorenya serta nenek Jumila yang tengah berlutut dengan terus mengucapkan kata maaf. Selendang nenek Jumila telah dipenuhi debu dan rumput kering halaman, tak luput raut takut dan air mata yang membuat wajah tua itu kian tampak letih. Sosok Darius yang selalu tampak sempurna dengan setelan pakaian rapinya, sedikit demi sedikit kemeja putih itu ternoda dengan darah merah pekat, serta wajah kusam dengan rambut berantakan. Bahkan taman yang begitu indah sebelumnya, kini begitu suram dan menyeramkan, meja lapuk, bunga kering dan bahkan kolam yang dipenuhi lumut hijau. Tetapi dari semua hal itu hanya satu yang tidak berubah yaitu senyuman yang begitu tulus menatap nenek Jumila dihadapannya. Darius terus menatap nenek Jumila dengan tatapan mata yang tidak bisa Gendis gambarkan, ada rasa rindu, ada rasa sakit, dan seakan rasa penghianatan yang begitu besar. Semakin lama, bersamaan dengan meredupnya sinar mentari yang membuat langit berwarna oranye kemerahan sosok pria itu menghilang bersamaan dengan tetesan hujan sore yang dingin, meninggalkan Gendis yang masih terpaku dan nenek Jumila yang bersimpuh tak berdaya.

Rahasia nenek ‘suara petang’ membuat Gendhis tak dapat lagi memberikan reaksi apapun. Pria yang diingat Gendhis dengan senyum ramah nan hangat adalah pria dengan kesedihan dan kesepian hingga akhir hayatnya dialah ‘pahlawan tanpa lentera’ yang selalu di ceritakan sang nenek. Pria yang tetap tersenyum setelah ditikam oleh wanita yang ia cintai. Wanita yang disebutnya. “Gadis Jawa yang cantik” nenek Jumila sosok wanita beruntung ini, wanita yang dicintai sosok Darius hingga akhir hayatnya, demi sosok wanita Jawa yang ia kagumi Darius meninggalkan keluarganya di tanah Belanda bahkan ia rela berkhianat pada tanah kelahirannya. Cinta yang tak hilang walaupun belati telah tertancap di Jantungnya hanya karena darah Belanda di tubuhnya.

Gendhis ingin mengungkapkan keinginannya, bahwa ia masih berharap menjadi “Gadis Jawa yang cantik” itu, namun ia kembali menutup matanya, menghirup dalam aroma teh mawar dan cangkirnya hingga kembali menatap mata pria dihadapannya. Pria yang sudah 5 tahun bersamanya.

“Sampai kapan kan akan menatapku?”, Pria dengan senyum meneduhkan, tangan hangatnya meraih tangan Gendhis terlihat cincin melingkar di jari manis keduanya. Sosok Darius pria Belanda di ingatan Gendhis memberikan hal berharga untuk wanita itu. Pria yang telah mengucapkan janji setianya memiliki nama belakang yang sama dengan sosok Darius di masa lalu Gendhis.

Pria yang memiliki nama asli Deon van Hoofen ini merupakan keturunan dari Darius di ingatannya. Pria yang melanjutkan jurnal yang berhenti sebab menghilangnya sang kakek buyut. Cicit yang bahkan memiliki wajah yang begitu mirip, menggunakan nama sang kakek menjadi nama penanya di setiap jurnal yang ia tuliskan. Gendhis menarik senyum, ia yakin satu hal pria di hadapannya adalah Darius miliknya, bukan milik sang nenek, pria yang akan terus mencintainya dan membuat Gendhis menjadi ‘Gadis Jawa yang cantik’ untuk pria keturunan Belanda di hadapannya.

“Kurasa kakek buyut akan senang melihatmu.”

“Diamlah, mengapa juga kau harus menggunakan nama pena yang sama dengan kakemu?”

“Entahlah, mungkin agar aku bertemu gadis jawa yang cantik.”

 

Bionarasi penulis

Chita Rossicha Nuravrida, lahir di Banyuwangi pada 07 April 2002. Saat ini tengah menempuh S1, Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia  semester 3 di Universitas Jember Fakultas Ilmu Pendidikan, pengalaman organisasi di kampus sebagai anggota UKM Pijar Pendidikan yang bergerak di bidang jurnalistik. Menggemari bidang kepenulisan sejak bangku SMA dan terus berlanjut hingga saat ini, sebab bagi saya tulisan tak akan pernah hilang seiring majunya teknologi.