Menyambung
dari kisah seseorang, hubungan toxic
itu tak melulu soal dan dari pasangan. Ada kalanya tanpa kita sadari telah
terlibat hubungan toxic bahkan sejak
di dalam kandungan. Penelitian mengatakan bahwa kondisi kesehatan mental
seorang ibu akan berpengaruh pada kesehatan kejiwaan sang janin yang
dikandungnya. Saat ibu depresi, maka janin juga akan mengalami hal yang sama.
Itulah sebab mengapa lingkungan yang baik dan mendukung sangat dibutuhkan
bahkan sejak kita masih seukuran air mani.
Sebagai
orang yang tidak benar-benar bisa mengungkapkan apa yang diinginkan, saya juga
memiliki kisah terlibat hubungan toxic dengan
lingkungan. Selayaknya tradisi, perjodohan dini masih dilegalkan dan merupakan
hukum adat. Sejak saya baru berusia beberapa hari, sudah ada yang datang untuk
melamar saya. Keluarga besar saya setuju, tetapi untung saja orang tua saya
tidak menerimanya. Saya bersyukur akan hal itu sehingga masa bayi saya,
setidaknya, terselamatkan.
Berlanjut
ke usia kanak-kanak, tak jarang saya mendapati orang bermuka dua baik terhadap
saya atau pun keluarga. Didepan orang tua saya mereka bermuka manis dan memuji
betapa pintarnya saya karena sering memenangkan kejuaraan dan peringkat teratas
di kelas. Akan tetapi saat di belakang, mereka selalu bergosip bahkan memfitnah
bila keluarga saya melakukan tindakan suap kepada guru di sekolah. Hal itu
merembet ke anak-anak mereka, yang mana adalah teman saya di sekolah. Tatapan
ketidaksukaan yang dilayangkan benar-benar menusuk dan membuat saya lelah.
Ada
keinginan untuk bisa bermain bersama mereka, hanya saja saya adalah opsi
terakhir. Mereka bahkan membuat circle sendiri dan tidak mengikutsertakan saya
di dalamnya. Tapi saya tetap merasa senang, karena mereka datang kepada saya di
saat ada yang tidak mereka pahami soal pelajaran. Setidaknya, ada satu titik
saya merasa sangat bersyukur bahwa entitas saya bisa berguna juga.
Terlalu
sering menyendiri di perpustakaan, saya kerap kali dipanggil “penunggu perpus”
oleh sebagian teman. Bukan tanpa alasan, saya yang tidak pandai bergaul dan
lelah dengan tatapan tidak suka dari orang-orang membuat saya sadar bahwa
tempat teraman dan nyaman adalah perpustakaan. Berteman dengan karakter fiksi
dan hidup di dunia fantasi benar-benar membuat hidup saya sangat bahagia.
Selain itu, karena sering bolos kelas untuk latihan menggambar di perpustakaan
membuat saya dipercaya juga oleh guru penjaga untuk menuliskan data peminjaman
buku di sana. Dan sekali lagi hal itu membuat saya dijauhi bahkan dianggap cari
perhatian oleh teman yang lain sekali pun saya membawa nama baik sekolah, hanya
ejekan dan sorakan yang saya terima.
Sejujurnya
saya tidak terlalu ambil pusing. Kami hanya anak-anak yang polos, lugu, dan
bisa dimanipulasi kapan saja. Saya sadar dan tidak menaruh dendam pada mereka,
walau jujur saja itu menyakitkan juga.
Tiba
di titik rasa sabar saya habis karena ucapan sosok yang saya anggap sahabat.
Saya menyesali kebodohan saya saat itu yang mau saja diperbudak untuk belanja,
dicontek, bahkan bolos kelas hanya untuk bias diterima sebagai ‘teman’ olehnya.
Selayaknya melempar roti dibalas batu, dia menghina saya secara terang-terangan
di depan semua orang. Tepat pagi hari setelah bel berdering dan sebelum doa
belajar dibacakan, dengan drama tangisnya ia bersuara lantang. “hei jalang!
Beraninya kau mengataiku jalang ke semua orang! Padahal yang jalang itu kamu!
Dasar anak dan keluarganya sama-sama gak punya malu!”. Setidaknya seperti itu
yang tersisa dalam ingatan saya.
Saat
itu, saat saya membalas ucapannya dengan lirih bahwa saya tidak melakukan
apapun yang ia katakan, saya tersadar. Mata setiap orang yang ada di kelas menaruh
benci dan dendam terhadap saya. Tak ada satu pun rasa hangat di sana. Bahkan
saat saya menoleh pada teman sebangku, dia hanya melirik tajam dan bergumam,
“seharusnya kamu tidak pernah di sini! Seharusnya kamu mati saja!”. Saya
terduduk lemas dan menunduk. Apa salah saya? Apa salah keluarga saya? Kenapa
sebegitu rendahnya diri saya di mata mereka? Saya berusaha menahan tangisan
karena guru sudah masuk kelas. Bahkan saat pelajaran dimulai, saat guru memberi
nilai sempurna pada saya, masih saja mereka protes. “Kan dia anak kesayangan
semua guru, pantas saja dapat nilai seratus padahal kan banyak yang gak sesuai
di buku.” Masih mempertahankan harga diri, saya maju dan bertanya langsung pada
guru bersangkutan, tapi memang tidak ada yang salah. Saya belajar tidak hanya
melalui satu buku saja, ada banyak referensi yang saya masukkan.
Dari
sanalah jiwa kedua saya terbangun. Iya, katakanlah ia adalah rasa lelah dan
kesepian yang selama ini saya pendam. Sebut saja entitas itu bernama “Cikha”.
Pada mulanya dan memang sebenarnya dia hanyalah makhluk imajinasi “tulpa” yang
lahir dari alam bawah sadar saya. Dia adalah saya versi sempurna dan diharapkan
oleh semua orang. Banyak hal yang saya tiru dari dia hanya demi bisa menuruti
harapan setiap orang, bahkan orang tua saya. Tak ada yang tahu, jiwa saya yang
sebenarnya terpenjara di dalam sana.
Penafsiran
soal ‘teman’ berkonotasi negative di pikiran saya. Sampai SMP sekali pun saya
tidak percaya akan adanya teman. Yang ada hanyalah simbiosis mutualisme atau
komensalisme antar manusia satu dengan yang lain. Tidak ada yang namanya teman
di dunia ini.
Saya
bersyukur sekali bisa bertemu dua sahabat saya yang perlahan mengembalikan
kepercayaan bahwa teman itu ada. Hingga rasanya saya rela menukarkan apapun
asal saya tidak kehilangan mereka.
Karena saya tahu, mereka akan melakukan hal serupa. Tapi ujian belum berhenti
selama saya masih hidup di dunia.
Saya
akhirnya tiba di titik “ingin hijrah”. Ya, saya memutuskan untuk menyelami
agama lebih dalam dan konsisten menutup aurat. Tentunya ini didukung oleh teman
dan orang tua, walau keluarga saya sedikit keberatan. Di masa hijrah ini,
kondisi saya tidak membaik. Hal lebih berat menimpa dan saya tidak bisa meminta
tolong pada satu pun manusia. Saat bagian tubuh yang tak seharusnya ditatap,
malah terjamah berkian kalinya oleh tangan kotor keluarga sendiri. Apa yang
dijaga hilang dalam sekejap. Ingin rasanya teriak meminta pertolongan. Pada
orang tua, pada keluarga, pada sahabat. Tapi mulut hanya bisa bungkam.
Saya
menghina diri sendiri. Sering memaki diri sendiri yang tidak bisa menjaga
mahkota berharga. Iya, sudah kotor seperti lumpur selokan. Bahkan lebih hina
lagi dari lumpur hitam tinja pembuangan. Hal yang sama terus terjadi hingga
saya SMA, bahkan sesekali terjadi saat saya telah duduk di bangku kuliah.
Saya
tahu itu pelecehan dan sayalah korban. Tapi sekalipun pelaku minta maaf yang
sayangnya tidak dilakukannya-tetap tidak bisa mengobati semua ini. Karena
kejadian itu, ‘teman’ saya bertambah dua. Dan hampir setiap hari saya melihat
mereka bertiga mengelilingi saya dengan membuat candaan lucu, berusaha
menghibur. Perlu digaris bawahi, mental saya sangat tidak aman saat ini. Karena
sadar tidak lagi suci, muncul kebiasaan selalu menutup diri dari lingkungan,
bahkan pakaian pun ikut tertutup. Semakin saya mencoba bertobat dan belajar
agama lebih dalam, rasa bersalah dan trauma malah semakin keras menampar.
Rasanya tubuh ini sudah dipenuhi bekas telapak tangan orang lain. Rasanya saya
sudah tak pantas untuk siapapun. Di titik ini lah saya merasa sangat tidak berguna
sebagai anak, perempuan, atau pun manusia.
Saya
masih bisa mempertahankan kewarasan hingga masuk SMA. Akan tetapi, sekali lagi
keluarga menghancurkan satu-satunya pondasi mental saya. Mereka merebut impian
terakhir saya. Hanya impian inilah yang mampu membuat saya bangkit lagi meski
terpuruk bertahun lamanya. Tapi saat itu, ia turut hancur juga.
Saya
tak lagi punya arah. Satu-satunya yang ada di kepala saya hanyalah keinginan
untuk mengakhiri semua ini. Pikiran yang gelap dan hati perlahan kosong. Saya
mulai melakukan tindakan self harm
dengan berusaha mengiris tangan sendiri menggunakan silet di kos. Entah kenapa
saat silet itu berhasil membuat garis, saya kehilangan kesadaran. Saat
tersadar, saya sudah berpindah lokasi, dari yang semula di pinggir kasur hingga
ada di dalam lemari pakaian. Sampai saat ini saya tidak mengerti apa yang saya
alami malam itu.
Menyadari
tindakan ini bodoh, walau tak memiliki semangat hidup sekalipun, saya tetap
melakukan aktivitas seperti belajar di sekolah dan lainnya. Saya memutuskan
untuk lebih lama tinggal di sekolah dan mendengar suara orang-orang. Karena
hanya pada saat itu, pikiran gelap untuk mengakhiri hidup tidak muncul. Saya
pergi lebih awal dan pulang lebih malam dari siswa lain. Walau saat di kos saya
berusaha mati-matian mempertahankan kewarasan saya, yang setiap melihat silet
ataupun benda tajam lain langsung tersenyum ingin menorehkannya di bagian tubuh
saya.
Satu
sisi saya berterimakasih dan bersyukur pada komunitas yang saat itu menaungi
saya. Cakanca.id dan rumah sastra. Melalui mereka saya tersadar ada cara
mengalihkan pikiran gelap saat sendiri. Iya, menjadi wibu merupakan keuntungan
bagi saya. Di waktu gelap itu, saya memutuskan untuk menonton anime dan
beruntungnya pikiran gelap itu tidak muncul. Hal itu terus saya lakukan setiap
hari hingga teman-teman saya menyebut saya seorang “otaku”.
Saya
berusaha membangun impian lagi walau tidak sekuat impian saya sebelumnya.
Setidaknya, itu cara kabur paling elegan yang pernah saya lakukan. Kabur dari
rumah dengan dalih mengenyam pendidikan. Tak ada rasa bahagia saat saya
diterima masuk salah satu universitas seni bergengsi di Yogyakarta. Hanya ada
rasa sedikit lega, setidaknya saya bisa pergi dari rumah, tapi tidak mungkin
saya menyebutnya rumah lagi.
Beberapa
tahun mengenyam pendidikan, saya mengenal seseorang yang entah kenapa membuat
saya berani untuk mengambil langkah maju. Dia satu-satunya yang berhasil
menarik diri saya yang asli ke permukaan, di saat saya tenggelam dalam laut
gelap man kediinginan seorang diri. Laut yang perlahan melahap saya dan
mengikat erat tubuh saya. Saat saya berusaha menggapai daratan, saya hampir
menyerah karena tak ada satu orang pun yang melihat saya. Tapi dia datang dan
langsung menarik tangan saya, meski ikut basah oleh lautan yang hitam, ia tetap
tersenyum dan berkata semua akan baik-baik saja.
Untuk
pertama kalinya saya menemukan tempat untuk pulang. Walaupun keluarga saya
berkata bahwa tempat saya berpulang bukanlah rumah, tapi nyatanya rasa aman ada
saat bersamanya. Hanya padanya saya bisa mengungkap semua hal menyakitkan dan
menangis untuk pertama kalinya. Hal ini membuat keluarga saya tak terima dan
menganggap bahwa itulah resiko karena saya tidak mengatakan apa apa pada
mereka. Seandainya, saya mengatakannya pada mereka, pasti langsung melakukan
tindakan tanpa harus sampai mencederai mental saya. Tapi mereka tidak sadar,
bahkan setelah saya mengungkapkan masalah ini pada keluarga, tak ada tindakan
yang mereka lakukan pada pelaku. Pelaku hanya meminta maaf satu kali setelah itu
tak ada lagi. Itu semua tidak sepadan dengan yang ia lakukan bertahun lamanya
dan masih menyalahkan saya sebagai anak yang tak menganggap rumah sebagai
tempat untuk pulang kembali?
_________________________________
*) Penulis yang sedang ingin berbagi Cerita hidupnya
0 Komentar