Oleh: Wilda Zakiyah*
September Hitam katanya,
Untuk memperingati manusia-manusia yang hilang
nyawanya, hilang haknya, dan hilang keadilannya.
Sedangkan si perebut nyawa? hilang otak sebagai
manusia.
Peristiwa pencabutan nyawa yang dilakukan oleh yang
bukan malaikat, justru dikubur rapat, takut dijerat, padahal jelas itu bejat.
Hak Asasi ditelanjangi kekuasaan, yang berkuasa boleh
mencabut nyawa, yang tidak jadi apa-apa harus siap kehilangan nyawa.
Katanya demokrasi, dikritisi malah ancaman mati.
Hahahah, Indonesia jadi panggung komedi.
Sila ke-5 "keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia"
Yakin?
Bukankah keadilan bagi para penguasa saja?
Rasa iba hanya dari ibu,
Pelindung rakyat sudah jadi penjahat rakyat.
Pak, saya cucu Salim Kancil yang kalian bunuh karena
menolak tambang pasir. Menangis saja tak cukup pak, air mata sudah kering di
pematang sawah dekat pesisir.
Salim Kancil tumbang melawan tambang.
Hari itu 26 September 2015 umurku 5 tahun, pak
9 tahun yang lalu.
Pukul 7 lewat 30, segerombol orang datang dengan
sangar
Kakek memaksaku untuk masuk rumah
"Kenapa kekkk?"
Brakkk braakk braakk, suara kayu sengaja dipukul ke
rumah, derap langkah makin dekat, orang-orang membawa golok, matanya ganas, aku
ketakutaannn.
"Siapa itu kekkk?"
Kakek mendorong aku masuk, di luar semakin ramai dan
berisik.
"Heeiii, keluaar kamuu"
"Pahlawan sok kesiangan"
"Musnahkan"
Kakek mencoba keluar, mereka memukuli dengan kejam,
dihantamnya kepala kakek Salim hingga pecah, dianiaya tanpa ampun, saat di
ambang nyawa, diseret tubuhnya sejauh 2 kilometer. Mereka menyiksa hingga
meregang nyawa, biadab. Setan saja tak begitu kan, pak??
Saat uang besar bermain, petani kecil sering kalah.
Dan mereka yang berusaha membela justru dimatikan langkahnya.
Uang jadi agama, memperkosa keadilan, membeli
kemanusiaan, sampai berani mengaku tuhan yang perkasa dan sibuk memenggal
kepala.
Situbondo, 29 September 2024
_______________
*) Penulis yang ikut serta dalam kegiatan September Hitam di alun-alun Situbondo.
0 Komentar