Oleh: Kapten_Ran
Hembusan angin dingin
masuk dan keluar dari sela-sela rumah kayu yang gelap gulita. Tidak bersuara
namun dinginnya menusuk hingga ke tulang setiap penghuni yang sedang tertidur
di dalamnya. Selimut dari kain jarik tentu tak cukup menghangatkan tubuh mungil
anak perempuan yang tertidur di sebelah neneknya. Ia meringkuk dengan tubuh
gemetar menahan hawa dingin. Tangan keriput bergerak mendekapnya sambil
bersenandung.
“Olle ollang paraona
alla jere. Olle ollang alla jere ka Madure…,”
Tangan wanita tua
itu menepuk bahu anak kecil disampingnya agar ia tidak terbangun karena
terganggu akan dinginnya malam. Lirik dari tembang yang dilantunkannya memecah
keheningan malam, mengalun merdu ke setiap sudut rumah. Sayup-sayup tembangan
sang nenek mengecil lalu menghilang ditelan sunyinya malam. Akan tetapi anak
kecil yang seharusnya tertidur itu terbangun karena sulit bergerak.
Mata mungilnya
sulit dibuka, Ia mengucek matanya dan mencoba menyingkirkan belek yang
mengganggu penglihatannya. Saat matanya sudah bisa melihat dengan baik, yang
dilihatnya hanyalah kegelapan. Semuanya hitam, tidak ada secercah cahaya pun
yang menembus dinding kayu. Ia mencoba membalikkan badannya, namun kesulitan
karena dekapan neneknya. Dekapan itu hangat, namun ia ingin melihat sisi yang
berseberangan. Dengan perlahan anak kecil itu mengangkat tangan keriput
neneknya agar melonggar dan ia bisa berbalik.
Dengan usaha yang
cukup keras, ia berhasil berbalik. Mata mungilnya menangkap cahaya putih namun
kabur seperti cahaya senter di hadapannya. Cahaya tersebut tidak mengarah
kepadanya namun berada di dekat tempat tidur mereka. Ia menelusuri setiap sudut
rumah dengan pupilnya yang bergerak ke kanan dan ke kiri mencari sumber cahaya
itu ditengah kegelapan. Hingga akhirnya ia menemukan bahwa sumber cahaya itu
berasal dari senter yang ada di ujung kakinya.
Gelapnya ruangan
yang membuat penglihatan terbatas samar-samar menampakkan sebuah siluet. Siluet
yang anak itu kenal dengan baik. Sesosok laki-laki yang selalu membawa senter
kemanapun ia pergi di malam hari. Laki-laki yang biasanya tidur di ruang
sebelah. Orang yang ia sebut dengan panggilan “Kakek”. Ia memperhatikan
kakeknya atau sosok yang mungkin menyerupai kakeknya dengan seksama. Sosok itu
duduk di ujung tempat tidur dan memperhatikannya. Seolah tengah mengobservasi
sesuatu. Keduanya diam, tidak bergeming karena memang tidak ada yang perlu
dikatakan. Kemudian tangan dingin seperti es dari sosok tersebut mulai mengusap
kakinya.
Tidak lama
kemudian, sosok yang awalnya duduk di ujung kasur mulai berdiri dan hendak
beranjak. Ia mulai menyeret kakinya perlahan, mirip seperti kakek yang terkena
stroke sehingga kaki kirinya sulit digerakkan. Setelah beberapa langkah, anak
kecil itu mulai melambai-lambaikan tangannya sambil memanggil sosok itu.
“Kakek,”
panggil anak itu.
“Mau kemana? Tidur saja
disini,” ucap anak perempuan tersebut sambil bangun dari tempat tidurnya.
Sosok itu seakan
tidak mendengar panggilan anak kecil yang melambai-lambai padanya. Ia terus
berjalan lurus menuju kamar sebelah. Panggilan tersebut semakin keras hingga
sosok itu berbalik, cahaya dari senter jatuh tepat di sebelah tempat tidurnya
hanya berjarak 1 langkah orang dewasa. Ia tersenyum dan terus memanggil sosok
tersebut untuk tinggal dan jangan pergi. Panggilan itu rupanya membangunkan
neneknya, sementara sosok itu melihat ke arahnya dan tidak bergerak seperti
mengawasi sesuatu.
“Kamu
berbicara dengan siapa? Tidak ada orang disini,” ucap neneknya yang membalikkan
badan cucunya agar mereka berhadapan.
“Itu
Kakek, lihatlah cahaya senternya.” kata anak kecil itu sambil menunjuk cahaya
di sebelah mereka.
Neneknya tampak
bingung karena ia tidak melihat cahaya senter di manapun. Namun wanita tua itu
tidak panik, ia turun dari tempat tidur dan berjalan seperti biasa melewati
sosok tersebut untuk menyalakan lampu. Seketika ruangan yang tadinya gelap
gulita dipenuhi cahaya kekuningan dari bohlam. Benar saja, tidak ada siapapun
di ruangan itu kecuali nenek dan cucu perempuannya. Wanita tua itu kembali ke
atas kasur untuk meyakinkan cucunya bahwa tidak ada orang disana selain mereka
berdua. Namun tentu di mata anak kecil itu tidak demikian dan neneknya tahu hal
tersebut.
Anak kecil itu
terbata-bata menjelaskan pada neneknya bahwa sebelum bohlam dinyalakan, ia
benar-benar melihat dengan jelas bahwa sosok kakek berdiri melihat ke arahnya.
Akan tetapi dengan sedikit keanehan, tinggi badan kakeknya seolah bertambah. Ia
sangat yakin bahwa pada saat itu yang ia lihat adalah nyata. Neneknya
memintanya untuk turun dan mengecek bersama keberadaan kakek di ruang sebelah.
Benar saja, kakeknya tengah tertidur pulas meringkuk dengan sarung berwarna
abu-abu menyelimutinya. Ia mencoba tidak percaya dengan apa yang ada di
hadapannya. Bahkan senter yang biasa dipakai oleh kakeknya masih ada di atas
laci dan tidak dalam kondisi menyala. Namun faktanya sudah jelas sekali bahwa
kakeknya tengah tertidur.
Anak kecil itu berlari
ke atas kasur, meringkuk dan menyelimuti tubuhnya dengan kain Jarik. Ia tidak
ingin melihat apa yang ada di luar selimutnya pada malam itu. Neneknya yang
melihat hal tersebut membiarkan lampu di kamar itu menyala semalaman. Ia
mencoba menidurkan kembali cucunya dengan menepuk pundaknya sambil bersenandung
Tanduk Majeng. Sebuah lagu tradisional yang menceritakan tentang kehidupan
pelaut. Ia membiarkan cucunya tidur lebih dulu dibandingkan dirinya,
berjaga-jaga takut ada yang mengintai dari balik kegelapan.
Bagi perempuan tua itu
hal mistis bukanlah sesuatu yang baru. Ia mengetahui bahwa apa yang dilihat
cucunya adalah nyata di dimensi yang berbeda. Namun membahas hal tersebut di
malam itu bukanlah tindakan yang bijak. Wanita tua itu sudah terbiasa dengan
hal mistis sejak masih anak-anak karena ayahnya merupakan peruqyah. Akan tetapi
bagi cucunya itu adalah hal yang baru, mengingat selama ini cucunya dibesarkan
dalam keluarga yang tidak kental akan hal mistis. Wanita tua itu juga berharap
bahwa anak-cucunya tidak akan berurusan dengan sesuatu dari dimensi yang
berbeda. Oleh karena itu semua pengetahuan tentang hal mistis ia bawa hingga
akhir hidupnya.
0 Komentar