Ilustrator: Kamila
 

Oleh: Silvia Wahyu*

“Aku tidak tahu harus memulai dari mana.”

Semenjak tadi, kalimat itu yang selalu mengitari kepala si Gadis. Ingatannya meloncat dari satu jembatan menuju jembatan lain. Saling sapa dengan yang namanya katak “Apa kabar? Hujan belum datang ya?”. Ditanyakan pertanyaan itu kepada katak yang sedang bersantai di atas teratai yang hijau dan bunganya yang mekar bewarna merah jambu.

“Memangnya kenapa kalau hujan tidak turun bulan ini?”

“Ya kupikir kamu sedang malas menyanyikan lagu pemanggil hujan.”

Gadis itu melanjutkan perjalanan panjangnya. Harus melalui sawah dan sungai-sungai kecil. Sesekali tampaklah berudu-berudu kecil yang berenang gesit di antara kaki-kakinya yang ketika itu basah melalui aliran sungai yang kecil sekali diameternya dibandingkan dengan sungai pada umumnya. Entah bagaimana bisa berudu-berudu itu sampai pada tempat ini. Pastilah ada campur tangan Sutradara Semesta. Seperti dirinya yang kini berpijak di sungai itu, apalagi kalau bukan perintah Sutradara Semesta yang secepat itu menghapus dialog kita dan menggantinya dengan dialog baru yang sepertinya lebih rumit.

“Entah seperti apa wujud mereka ketika nanti mereka sudah tumbuh dewasa. Apa nantinya nasib mereka akan sama seperti katak-katak yang lain? Menghabiskan seumur hidupnya untuk bernyanyi dan menggoda hujan agar segera sampai ke bumi? Entah semerdu apa suara mereka. Apakah mengalahkan nyanyian-nyanyiann indah dari lantunan ayat Sapardi yang dibunyikan Ari dan Reda?”

“Tunggu-tunggu, mengapa harus mengenai hujan?”

“Karena kamu perempuan hujan, gitu aja kok ribet!”

 Sampai putaran yang entah keberapa ia sering mendengar musikalisasi semegah dan sesyahdu itu. Gadis itu tidak tahu sejak kapan ia ingin masuk menjadi tokoh utama lalu menjelma nada-nada yang dibunyikan. Kalau ia pergi ke toko buku, mall, bus, kereta, atau di mana saja tempat yang ia temukan lagu-lagu itu, hatinya padam. Lalu masuk melalui pikiran-pikiran yang sedari kecil dirawatnya dan dijaga agar tidak mengamuk pada waktu yang bukan tempatnya.

Pagi itu ritual perjalanan yang dilakukan berakhir sama saja seperti hari-hari sebelumnya. Kecuali jika ia bertemu dengan tokoh baru sepanjang perjalanannya. Pastilah semakin panjang dialognya dan semakin rumit alur ceritanya, pikirnya.

Tiba-tiba seekor landak muncul dari arah barat. Membawa tubuhnya berjalan. Mungkin sedang berjalan menuju perkebunan, sawah, atau bahkan tidak tahu akan berjalan kemana. Landak itu menangis dan berhenti tepat di depan si Gadis. Dialog baru apalagi ini? Si Gadis memburu mata-matanya agar semakin mudah ia masuk ke dalam cerita yang ada pada kepala si Landak. Sebab tidak semua orang ingin dan mampu bercerita mengenao beban yang selama ini dikandungnya sendiri.

“Aku diusir karena tubuhku yang mempunyai duri. Mereka takut padaku. Padahal tidak pernah sedikitpun terbesit dalam pikiranku untuk mencelakai mereka. Sekarang aku harus luntang-lantung menjadi rumah yang nyaman untuk kutinggal. Termasuk orang-orang yang baik di sana.”

“Aku juga tidak memiliki teman. Tapi, sekarang aku bertemu dengan seekor landak yang bisa kusebut teman. Durimu itu bukan bentuk kutukan yang diberikan Sutradara Semesta. Tapi duri itulah yang membuatmu berharga. Coba saja bayangkan jika duri itu tidak ada, apa kau bisa bertahan dari ancaman musuh? Bukan hanya perihal tidak punya teman, hidupmu malah kau kutuki dengan kata-katamu sendiri.”

“Tapi aku tidak bisa membayangkan liciknya kesepian itu yang bisa membuat kepalaku tiba-tiba terbagi menjadi dua.”

“Kesepian itu tidak ada. Cobalah pergi ke tempat lain dan rasakan senangnya bertemu dengan orang baru.”

Terciptalah dialog-dialog baru setelahnya. Dialog panjang yang tanpa sengaja tercipta hanya karena sebuah pertemuan gadis itu dan si Landak.

Setengah perjalanan lagi, katanya. Kemudian ia duduk di antara bunga-bunga yang memerah sempurna dan ilalang panjang.

“Meski hari ini tidak hujan, tetapi bunga-bunga tahu kapan ia harus bermekaran. Izinkan aku memetikmu, Bunga. Nanti jika hujan sudah siap turun, kamu akan mekar kembali.”

“Tapi, mengapa harus mengenai hujan?”

“Karena kamu perempuan hujan, gitu aja kok ribet!”

Gadis itu kembali berjalan hingga tibalah ia di sebuah pemakaman. Ia duduk di kursi yang baru ia pesan. Menikmati putih-putih awan yang mengambang bebas di atas. Di tepu sungai-sungai kecil dan selokan untuk aliran sawah. Di bagian barat sana ada sebuah pemandangan yang saat malam nanti akan terlihat seperti bintang-bintang menyala di angkasa. Setelah membaca doa-doa diletakkan bunga-bunga itu kemudian diceritakannya mengenai landak yang kesepian serta hujan yang sedang ia tunggu. Bercerita bahwa ia merasa menjadi orang paling waras kalau ia bicara sendirian. “Biarlah aku bicara kepada batu nisan ini. Lagi pula kalau aku beneran waras, pasti dia mendengarkan.”

Sebelum sampai pada akhir cerita, tiba-tiba basah sekujur tubuhnya. Mungkin cukup sampai di sini ceritanya, kapan-kapan aku kembali, katanya. Semula ia piker hujan akan datang besok atau lusa, namun ternyata datang lebih cepat. Entah babak apalagi yang akan menjadikan kisah sang Gadis lebih rumit. Hujan membawa gadis itu pada dimensi waktu yang berbeda. Dimensi waktu yang mempertemukannya pada gadis lain yang mirip sekali seperti dirinya dan mencintai hal yang sama pula. Sampai pada akhirnya sang Gadis yang baru ia temui harus berhenti membuat catatan tentang perjalanannya. Entah mengapa bisa seperti itu. Pasti ini perintah Sutradara Semesta. Kemudian lahirlah gadis baru yang tak lain adalah si Gadis itu seperti jelmaan dari ibunya sendiri—yang kisahnya harus terhenti tiba-tiba karena maunya Sutradara Semesta. Ia bahkan tidak tahu rupa ibunya sendiri. Tapi orang-orang bilang, gadis itu mirip ibunya yang keturunan asli Jawa. Semua yang ada padanya ia warisi dari ibunya kecuali satu hal yang ia sebut kesenangan. Kesenangan berbicara sendiri. Orang lian yang mendengarnya pastilah beranggapan “Ini anak kok nggak jelas!”. “Kalau nggak kenapa emang?”.

Hujan yang sebenarnya hanya mengalir deras di pipinya itu semenjak tadi sudah hilang. Ia harus segera beranjak pergi sebelum hujan turun lagi.

Ia membuka kedua matanya. Melihat hanya ada langit-langit kamar dan jendela yang terbuka. Gadis itu bangun seperti orang habis sembuh dari sakit panjang.

“Tidak adakah kisah selain hujan? Mengapa harus selalu hujan? Capek aku harus kedinginan karena basah setiap pagi sehabis bangun tidur.”

Ia mendengar ada suara-suara yang menyelinap masuk melalui dinding-dinding kamarnya.

“Karena kamu perempuan hujan, maka selalu dijaga hujan. Gitu aja kok ribet.

Gadis itu mengulang kembali kisah mengenai hujan hingga ia sendiri tidak menemukan jawaban atas pertanyaan “Mengapa harus mengenai hujan?”

“Karena kamu perempuan hujan, maka selalu dijaga hujan. Gitu aja kok ribet.


*Penuis lahir di Situbondo bulan Januari saat hujan mengguyur kota Situbondo. Perempuan keras kepala yang dunianya diisi dengan membaca, menulis, dan bernyanyi sebagai perjalanan menuju dewasa.