Ilustrator: Iink Muzayyarah


*Serial Cermin adalah proyek menulis cerita pendek mini teman-teman cakanca.id dengan berpatokan pada 3 kata utama

Hati-hati Saat Hujan

Wilda Zakiyah

 

Malam semakin temaram, kamu pasti tahu di musim penghujan ini akan ada banyak sekali laron. Hewan yang karib dengan hujan. Sebagai orang yang patah hati, kamu akan lebih memilih memperhatikan air hujan yang jatuh ketimbang laron yang beterbangan mengelilingi lampu.

Kamu memang begitu, kenangan seringkali menelusup dalam ingatan saat hujan datang. Seolah tidak memberi jeda untuk melupakan. Padahal jika kamu sadar, tidak hanya hujan yang dekat dan menemani kamu saat patah, ada hal lain yang lebih dekat.

"Ra, tidur saja. Berhenti mengingat laki-laki itu, akan ada kehidupan yang lebih baik besok." Kata kakak perempuanmu yang berdiri di ambang pintu.

"Kalau aku tidur apa aku bisa lupa?"

"Bisa, Ra."

"Apa dalam mimpi tidak akan bertemu dia?"

"Aku yakin tidak, asal kamu tidak memikirkannya lagi"

Kamu diam, menunduk paling dalam. Menarik selimut dan memejamkan mata. Tapi saat kakakmu sudah pergi, kamu kembali terbangun dan merasa sakit lagi.

Esoknya kamu sudah kaku dan dingin, tubuhmu pucat pasi. iya, semalam kamu menadah air hujan dan mencampurnya dengan racun tikus yang ditaruh ibumu di dekat lemari pakaian.

"Aku berduka cita, Ra." Laron kecil itu menggantikan nyerimu yang selesai.

 

Lampu Taman

Gaharu

 

Air masih menetes di keningnya. Dalam remang, wajahnya yang bening nampak tenang. Meskipun sorot matanya menandakan hilangnya kesadaran dari dirinya sendiri.

Azalea, gadis itu berdiri di samping tiang lampu taman yang perlahan redup. Tubuhnya terus saja diam meski hujan tak henti-henti menerjangnya. Orang-orang tak pernah sadar dia ada di sana. Walau dia sendiri tak pernah menyadari keberadaannya.

Bulan purnama telah hilang dari langit, hujan semakin deras menikam bumi. Azalea akhirnya bisa tersenyum walau itu hanya sebuah senyum perih. Ia melebur bersama malam. Di saat yang bersamaan, lampu taman pun menjadi terang-benderang.

"Dia hilang. Kembali hilang dari dirinya yang telah hilang." Angin menggetarkan dedaunan yang gugur bersama tetes air mata sosok lampu di sudut jalan.

 

Assalamualaikum, Tuhanmu

-Dii-

 

Malam itu, aku masih ingat bagaimana tanganmu menyentuh tanganku. Salurkan kekuatan yang seakan berkata.

"Semua baik-baik saja.”

Aku percaya, kamu juga takut akan kata berpisah. Namun aku bukan Tuhan, yang bisa menyusun skenario secara sempurna.

Saat lampu itu menyorot kita, aku tersadar bahwa kita tak sama. Sudah banyak air mata di belakang kita. Tak pantas jika kamu yang sempurna harus bersanding denganku yang bukan apa-apa.

Tuhanku. Tuhanmu. Kita tak sama. Lancang rasanya jika aku memaksamu untuk jatuh dalam pelukanku. Tuhanmu melarang, bukan tak berkehendak.

Salahkah jika aku berharap? Mengharapkan belas kasih Tuhanmu untuk mengabulkan doaku yang bukan umatnya. Ah, rasanya tidak mungkin. Aku dan Tuhanmu. Tidak saling mengenal.

Aku di sini, masih memandang air yang menetes dari langit hitam. Renungkan jalan. Ingin melangkah atau menyerah. Jika kamu tanyakan jawaban, maka aku menjawab. Aku sudi berkenalan.

Assalamualaikum, Tuhanmu.

 

Gelap

Ulfa Maulana

 

 Salam kenal, namaku Gelap. Tak bisa dirubah menjadi terang walau dengan seribu lampu.

Namaku Gelap. Jika perumpamaan bahwa air itu mengalir, maka gelap memang seharusnya lebih baik diam. Tak kemana-mana. Agar tak menjadi bencana.

Namaku Gelap. Lebih gelap dari malam yang masih ada bintang-bintang. Masih ditemani bulan. Walaupun terkadang, tak terlihat karena terhalang awan.

Ah, mungkin kurang lebih seperti itu. Aku tak benar-benar tau. Hanya dari ingatan dari orang-orang yang bercerita. Tak pernah tau dunia itu seperti apa. Aku gelap. Benar-benar gelap.