gambar: pinterest


oleh: Alifa Faradis

Perempuan itu sedang menatap lautan di sebuah cafe bibir pantai. Ia memilih tempat duduk dekat pagar kayu yang langsung menghadap lautan lepas. Mata biru itu menerawang jauh. Tatapannya kosong namun terlihat sekali bahwa pikirannya penuh. Angin laut yang cukup kencang mengibas rambutnya yang panjang. Ia terlihat mematung tanpa melakukan apapun. Pikirannya sedang kalut meski dari luar ia tampak seperti air yang tenang. Sudah sepekan lamanya perempuan itu berada di tempat yang sama, tentu dengan tatapan hampa. Ia terhanyut dengan dunianya hingga suara bising sekalipun tak membuat ia terganggu. Ia hanya diam selama beberapa jam lalu pergi saat senja memudar perlahan.

Seorang lelaki bernama Hubert menatap perempuan itu dari kejauhan. Ia ingin mendekatinya namun tak ingin menginterupsi keheningannya. Lama-lama Hubert jadi terbiasa dengan pemandangan dengan objek perempuan yang sedang menatap kosong lautan. Setiap hari ia selalu datang hanya sekedar untuk melihat perempuan tersebut. Namun setelah sebulan lamanya, ia tak dapat menemukan perempuan yang sering mematung itu disana. Dua hari, seminggu, setahun, perempuan itu tak kunjung datang ke tempat biasanya. Hubert menjadi kebingungan. Terbesit penyesalan di hatinya, mengapa saat perempuan itu ada ia tak pernah menyapa, menanyakan nama, dan semua tentangnya. Kenapa saat itu ia diam dan membiarkan jarak di antara mereka tetap terbuka. Berhati-hati Hubert datang ke tempat itu dengan harap yang dangat lalu pulang dengan kecewa yang dalam.

Di tengah frustasi yang menemui jalan buntu itu, seseorang menepuk pundaknya. Saat ia menoleh, wajah perempuan yang di tunggu-tunggu tiba-tiba berada tepat dihadapannya.

"Permisi, dompet anda terjatuh" Suara perempuan itu yang pertama kali didengar Hubert membuyarkan tatapan kaget sekaligus takjub sedangkan perempuan dihadapannya malah memasang wajah keheranan atas reaksi itu.

"Ah, terimakasih. Biar aku terima Dompetku ini. Apa kau sendirian? Bagaimana kalau kau bergabung disini agar kita bisa mengobrol dulu?" Ucapannya tergesa-gesa karena dalam pikiran lelaki itu, ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia harus bisa menuntaskan rasa penasaran dan frustasi karena perempuan di hadapannya.

Perempuan itu sedikit takjub dengan apa yang didengarnya barusan. Apa ini sejenis gombalan jenis baru yang tak pernah ia tau? Pikirnya. Namun sedetik kemudian ia tersenyum. Ia pikir tak ada salahnya berbicara dengan orang yang tak dikenal sebelumnya. Ia memang butuh teman bicara hari ini.

"Terimakasih." Ujarnya kemudian setelah duduk berhadapan. Keheningan mulai terjalin di sekitar mereka. Tak ada yang berinisiatif memulai percakapan barang sekedar basa basi atau semacamnya bahkan lelaki itu yang tadinya bertekad untuk ingin tau segalanya tentang perempuan yang tengah memandang kejauhan malah bungkam.

"Ini kali pertama aku mengunjungi tempat ini lagi setelah sekian lama" Perempuan itu tiba-tiba bersuara lirih sambil memandang hamparan laut. Tatapannya menerawang jauh. Namun tak seperti tatapan yang pernah dilihatnya dulu, kali ini tatapan perempuan itu terasa damai. Tak ada kekosongan dan pedih di dalamnya.

"Satu tahun. Aku meninggalkan kota ini sudah satu tahun lamanya dan mencoba memulai kehidupan baru di tempat jauh. Tempat yang bisa membuatku lupa pada rasa sakitnya perpisahan. Tapi ternyata saat kembali, aku masih rindu tempat ini" Lanjut perempuan itu.

"Apakah tempat ini memiliki kenangan yang berarti?" Lelaki itu bertanya dengan hati-hati.

"Ya, karena tempat ini adalah permulaan dan akhir dari perpisahan. Tempat yang banyak menyimpan kenangan manis sekaligus kepedihan tragis." Perempuan itu mengatakannya dengan tersenyum seakan itu adalah kenangan yang sudah berhasil digenggamnya. "Omong-omong kau belum memperkenalkan dirimu"

"Ah, benar. Maaf aku terlalu terhanyut dengan ceritamu sehingga melupakan hal penting dari sebuah pertemuan pertama. Perkenalkan namaku Hubert. Kau?"

"Aku Mellisa. Ternyata kau cukup pemalu untuk ukuran seorang pria"

Pernyataan itu tak ditampik oleh Hubert karena memang begitulah kenyataannya. Ia payah soal basa-basi apalagi dengan perempuan yang sempat membuatnya frustasi karena pernah pergi. Dan itu membuat rona wajahnya berubah memerah karena malu.

"Dulu, aku sering melihatmu duduk di tempat ini. Apa kau menunggu sesuatu? Atau tempat ini juga tempat yang berarti untukmu?" Pertanyaan Mellisa membuat Hubert terhenyak. Lalu terbesit senyum bahagia dan kebanggaan karena hal kecil seperti itu diingat oleh perempuan yang sudah sejak lama membuatnya frustasi itu. Apalagi kejadiannya sudah lama sekali.

"Aku tak menyangka kau memperhatikanku saat itu."

"Bagaimana tidak? Kau terlihat kesepian sama sepertiku dulu. Saat melihatmu tiap aku akan pergi, aku merasa bahwa aku tak sendirian melalui hari-hari suram. Apa aku benar, hmm?"

"Aku memang menunggu seseorang. Dia perempuan yang luar biasa yang membuatku frustasi saat kehilangannya. Sejujurnya aku tak terlalu mengenal perempuan itu hingga sampai saat ini aku menyesal karena tak memberanikan diri untuk tahu tentangnya lebih banyak lagi."

"Kau sungguh pria yang tegar."

"Tidak juga, tapi terimakasih. Kuanggap itu pujian"

Hening kembali menyergap mereka. Mellisa mulai sibuk dengan gawainya, entah dengan siapa ia melayangkan pesan sedangkan Hubert hanya memperhatikan.

Seseorang datang dari arah selatan menuju tempat mereka saat Mellisa melambaikan tangan. Wajah perempuan itu berbinar saat seorang lelaki tampak di hadapan mereka.

"Apa kau sudah lama menunggu?" Tanya lelaki itu

"Tidak juga. Oh ya, perkenalkan, dia Hubert. Dia sudah menemaniku selama menunggumu."

"Oh, Hai. Terimakasih telah menemani Mellisa. Aku Gess, suaminya" Sebuah uluran tangan menjulur ke hadapan Hubert seperti hunusan pedang yang di arahkan ke jantungnya. Perempuan yang sudah mengganggu pikirannya setahun terakhir, saat pertemuan pertama yang tadinya ia syukuri hancur seketika. Hubert menerima uluran tangan itu dengan senyum kecutnya.

"Hubert" Jawabannya singkat. "Sepertinya aku harus pergi sekarang" Lanjutnya.

Tanpa persetujuan mereka, Hubert beranjak dari kursinya dan pergi dengan rasa kecewa yang sangat dalam. Ia kembali kehilangan orang yang sama untuk kedua kalinya. Sepertinya, untuk selamanya perasaannya akan tertinggal di sana.