Ilustrasi: Kamila

Oleh: Arifa Ambami*


Saat kutemui naga ketawan

Terkikir bumi membelah daratan

Roh-roh jiwa yang belum sempat tumbang itu

Mengalirkan air matanya

Pada lubang begawan

Tak ada nyanyian ombak

Hanya deru tangis mendahaga

Terbendung dalam ombak jiwa

Yang kering keronta


 

Pertiwi

Dunia kini tak bernilai

Hancur lebur oleh para penjilat masa

Ini semua perihal negara, rakyat dan para pemimpinnya

Bukankau dikau negara damai di balik auman macan asia?

Kemanakah kedamaian itu menghilang?

Singgasana kedaulatan kini telah diduduki oleh para bedebah tak bermoral

Tak khayal pertiwiku hancur akan lesatan-lesatan peluruh emas

Suara tembakan menjadi nyanyian parau pemecah tangis

Dan kini, jeritan pun memuncak penuhi angkasa

Luapan tangis para rakyat jelata tak lagi menjadi nestapa bagi Negara

Menangis, menangis pun sudah tak berarti

Pertiwiku sudah basah akan tumpahan darah

Maka, di manakah Aku berada?

Negaraku, atau negeri pada bedebah?


 

Meriam raga

Wujudmu siulan malamku

Dalam badai Aku tersadar

Wujudmu menghilang

Menintah cerca yang kian berdarah

Entah apa yang terjadi pada ragaku

Ia bungkam

Menyisir lubuk dalam tanduk

Walau nafas telah tercekal

Walau jiwa telah terpental

Meriam raga

Tak mampu menikam kesatria paradigma

Darahku tercekat

Aku tumpat pedat

Meriam raga

Tukasmu memutus seagala


 

Tanah rahimku

Dalam hamparan tanah ini

Aku berdiri menatap lazuardi

Di tengah gedung-gedung kembar raksasaku

Tempatku memijak kaki

Hanya terdengar alunan suci dari lahja para

Tak ada keramaian Kota

Yang ada hanya putaran tasbih

Yang selalu berputar menemani denyut nadi

Tanah rahimku

Damai dibendung masa

 

*santri aktif Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo. Asal Agel, Jangkar, Situbondo, Ia adalah siswa di SMA Ibrahimy Sukorejo.