Hari itu, saya bersama salah seorang sahabat sedang berdiskusi perihal momok yang katanya lebih menakutkan daripada makhluk bernama pocong ataupun ibu kunti disela pohon pisang dan semak-semak. Sembari menikmati segelas kopi bersama dengan pemandangan sederhana kami memulainya dengan sesuatu yang tidak asing lagi. Covid-19 tentunya memang bukan istilah yang asing lagi bagi seluruh penduduk bumi saat ini.

Namanya Rahadian Dwi Sasongko, biasa dipanggil dengan nama Koko. Seorang pemuda dengan jambang yang begitu tebal (brewok) dan amat sangat menawan bagi sebagian kalangan perempuan, katanya. Dia adalah salah seorang sahabat saya yang takut dengan sebilah jarum suntik. Tidak sesuai dengan penampilannya yang mungkin sebagian orang mengatakan gagah hingga membuat lawan bicaranya segan. Tidak dengan saya tentunya.

Pandemi yang berlangsung lama ini tidak hanya memberikan penderitaan yang bertubi-tubi bagi banyak manusia, melainkan juga membuat sahabat saya ketakutan akan paksaan dari pihak yang berwenang untuk melakukan vaksinasi hingga 3 kali sesuai dengan wacana yang diungkapkan oleh pemerintah bagi vaksin jenis tertentu. Saya memulainya dengan satu pertanyaan setelah Koko sahabat saya mengungkapkan kekhawatirannya akan jarum suntik.

“Menurut Koko, vaksin itu hak atau kewajiban?”

Jawaban Koko secara tegas adalah kewajiban, hingga kemudian saya menanyakan alasannya kenapa vaksin itu merupakan suatu kewajiban.

“Melihat kondisi sekarang, vaksin rupanya menjadi syarat administratif untuk melakukan banyak kegiatan” katanya.

Saya diam sejenak, kemudian berfikir terkait alasan yang dikatakan oleh Koko kepada saya. Ternyata memang masuk akal dan benar terjadi dalam kehidupan kita saat ini. Vaksin telah menjadi syarat utama dalam melakukan berbagai macam kegiatan, mungkin suatu saat juga akan menjadi syarat wajib sebelum melangsungkan pernikahan. Sedangkan saya pribadi belum menikah dan belum sempat vaksin keseluruhan pula.

Kemudian saya berbicara sedikit mengenai Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, khususnya pada Pasal 5.

(1)   Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atau sumberdaya di bidang kesehatan.

(2)   Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.

(3)   Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggungjawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.

 

“Menurut Koko dari pasal yang sedikit saya jelaskan tadi, apakah vaksin tetap menjadi kewajiban bagi setiap orang?” tanya saya.

“Tapi jika tidak melakukan vaksin kan bisa menyebarkan penyakit kepada orang lain” jawab Koko.     

Pernyataan Koko membuat saya berfikir lebih keras lagi, akan tetapi itu bukan masalah karena dalam situasi seperti ini saya dan sahabat saya hanya sedang berdiskusi untuk menemukan titik temu yang baik serta bijak. Kemudian saya berkata kepada Koko, bahwa perjuangan manusia yang paling utama adalah hak untuk hidup.

Tidak ada yang boleh merampas dan/atau mengurangi hak hidup seseorang sebagaimana Undang-Undang Hak Asasi Manusia mengaturnya, oleh karenanya Undang-Undang Dasar 1945 memberikan perintah kepada negara untuk memberi makan fakir miskin, mengayomi anak terlantar hingga perintah pemberian pelayanan kesehatan sebagaimana yang sudah saya jabarkan sebelumnya. Nah, artinya dari aturan yang telah dibuat oleh pemerintah dan lebih tinggi tingkatannya seperti Undang-Undang Kesehatan Pasal 5 Ayat (3) tadi sudah jelas, bahwa yang pertama adalah hak untuk hidup dan yang kedua adalah hak untuk bebas.

“Jadi, untuk menyuntikkan jarum ke dalam tubuh seseorang itu harus meminta persetujuan dari pihak yang akan di suntik?” Tanya Koko.

Saya hanya mengangguk sembari sedikit melebarkan senyum kepada Koko, karena memang aturannya adalah demikian. Sehingga jika dalam melakukan pemberian vaksin ada unsur paksaan terhadap orang yang enggan menerimanya, padahal ada ketentuan Pasal 5 Ayat (3) tadi, maka seharusnya akan ada sanksi yang menjeratnya. Akan tetapi negara belum mengatur sanksi itu dengan tegas, jadi sangat disayangkan dan semoga menjadi PR bagi pihak yang berwenang untuk menambahkan sanksi hukum di dalamnya.

Secara hukum saya berpendapat bahwa apabila ketentuan vaksin menjadi syarat “wajib” dalam melakukan aktivitas sehari-hari sangatlah tidak pas berdasarkan peraturan perundang-undangan terkait, ataupun moral pancasila. Hal ini dikarenakan pancasila memerintahkan kita untuk bertuhan, kemudian menjadi manusia yang adil beradab serta dipandu oleh hikmat dan kebijaksanaan.

“Masa pandemi ini membuat semua kalangan masyarakat khawatir Koko, karena kita tidak mengetahui pasti mengenai apa dampak buruk yang akan terjadi 2 – 3 tahun mendatang. Kemudian timbul lagi berbagai macam penelitian yang katanya 2 kali vaksin tidak cukup, sehingga harus ada vaksin lagi yang ke 3.”

“Keraguan masyarakat terkait hal ini tentunya perlu untuk diberikan edukasi yang baik oleh pemerintah, karena tidak semua masyarakat mengalami kondisi serupa. Ada beberapa daerah dan wilayah terpencil yang belum terjamah, pun ada juga mereka-mereka yang menolak dengan alasan diagnosa penyakit bawaan.” Sambung saya.

“Persoalan ini bukan tentang ajakan untuk menolak vaksin, akan tetapi lebih daripada itu yang menyangkut dengan bagaimana aturan ini berlangsung, tidak berbenturan dengan aturan-aturan lainnya, tidak melanggar norma-norma kemanusiaan hingga mencela prinsip dasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.” Tegas saya pada Koko.

Kelihatannya koko pusing dengan penjelasan saya, karena dia hanya geleng-geleng kepala sembari menghisap rokok diantara jemarinya. Mungkin teman-teman pembaca juga pusing mencernanya. Tapi tidak apa-apa, kita belajar bersama pelan-pelan.

Ringkasnya, kita harus memahami terlebih dahulu mengenai perbedaan hak dan kewajiban. Mengenai vaksin itu sendiri, tentunnya adalah “hak” masyarakat yang “wajib” dipenuhi oleh negara agar tidak sakit dan terpapar virus. Kemudian yang seharusnya diberikan sanksi bukanlah masyarakat, melainkan pemerintah itu sendiri (jika tidak optimal dalam memenuhi kewajibannya untuk memberikan vaksin kepada masyarakat), seperti walikota, bupati, atau mereka-mereka yang diberikan amanah oleh Undang-Undang.

Masih banyak beberapa daerah yang belum terjamah sehingga tidak mendapatkan akses untuk melakukan vaksin, kurangnya edukasi dalam tatacara pelaksanaan vaksin pun menyebabkan masyarakat berkerumun antri hingga terpapar kembali, lalu kemudian dibuatlah aturan cepat bahwa tanpa vaksin berarti tidak boleh melakukan aktivitas perjalanan. Sungguh mengherankan dengan cara berfikir membuat aturan yang tidak jelas dalam membedakan hak dan kewajiban. Berfikir seperti ini saja saya sudah menjadi sangat gila.  

Jika vaksin yang mulanya adalah hak bagi masyarakat kemudian saat ini menjadi kewajiban mutlak, artinya pemerintah juga “wajib” memberikan sanksi terhadap dirinya jika suatu saat terjadi peristiwa buruk diluar kehendak bersama akibat vaksin yang diberikan kepada masyarakat. Inilah makna Pancasila yang berketuhanan, adil dan beradab serta dipandu oleh hikmat kebijaksanaan.

 

Rg. Hutama.