Oleh: Kanaya
Wayashila Umariyadi*
Apa ini?,
selembar kain menutupi senyumku.
Setiap orang
yang aku temui tak terlihat wajahnya membuat aku seringkali salah memanggil
nama.
Apa ini?
Separuh wajahku tak terlihat, padahal sudah kususun make up di wajahku,
tapi tertutup oleh selembar kain yang sekaligus merusaknya.
Sebenarnya
aku tak pernah percaya bahwa virus ini ada, pasti hanya akal-akalan saja, tak
mungkin lah manusia kalah dengan virus yang belum tentu adanya.
"Arrghh
rasanya tak ingin memakai masker." Ucapku sambil mengeluh di depan cermin.
"Kringggggg"
Bunyi teleponku
yang menghancurkan lamunanku
"Hallo,
Dita."
"Eh iya,
kamu sudah OTW?" Tanyaku kepada teman seperjuanganku
"Ini
lagi pakai sepatu, nanti kita bertemu di depan gedung fakultas Teknik ya?"
"Oh okey,
sudah ya aku mau berangkat dulu, sampai nanti." Tutupku
Pakai masker
atau tidak ya? Aahh sudahlah bawa saja maskernya, tak usah pakai, masker
ini membuat aroma terasiku tercium oleh hidungku sendiri.
Sambil
mengendarai sepeda matic-ku, aku mencoba menghirup udara yang sudah lama
tak aku hirup.
Lampu merah Jl.
Soekarno, yang biasanya macet sampai Jl. Soeharto, sekarang hanya ada tiga
kendaraan di sampingku. Membuat kota Lumajang ini tersenyum, karena tak ada
lagi polusi dari sepeda berisik yang dimodif.
Sampai deh
di kampus tercinta, langsung bergegas ke fakultas teknik, sarangnya cowok-cowok
ganteng.
Dua menit
setelah aku sampai, temanku juga sampai.
"Eh,
kamu kok gak pakai masker?"
"Ah
sudahlah buat apa sih? Yang ada menutupi kecantikanku." Jawabku sambil
sedikit tertawa.
"Gila
ya kamu, kamu mau mati?" Balasan temanku sambil sedikit teriak.
"Mana
mungkin mati gara-gara tidak pakai masker, yang ada aku mati gara gara sesak
nafas tahu." Ucapku.
Temanku tak
bisa melawan bicaraku, karena sebuah kebenaran.
Hari aku ke
kampus untuk mengambil barangku di loker yang aku simpan, akan aku bawa pulang.
Aku mau mudik saja, karena kuliah online.
"Kringgggg"
Langsung aku
bangun melihat ponselku. Aku kira temanku menelepon. Ternyata alarm pukul enam
pagi menganggu mimpiku yang belum selesai.
Hari ini aku
akan pergi mudik bersama motor matic setiaku. Satu jam perjalanan harus
aku tempuh untuk pulang.
Lagi-lagi
aku muak dengan maskerku yang menganggu pernafasanku. Seringkali aku membukanya
saat di perjalanan.
"Allhamdulillah
akhirnya sampai." Ucapku sambil peregangan karena pegal di perjalanan.
Langsung kuketuk
pintu rumah, berharap ada orang yang menyambut kehadiranku.
Ada yang
membukakan pintu, orang yang hampir setengah abad umurnya, tapi masih tekun
bekerja, Ibuku. Tak lama langsung aku peluk erat karena rindu yang tak
tertahan.
"Gimana
perjalanan tadi?" Tanya ibuku
"Allhamdulillah,
aman bu, tidak ada drama dicegat polisi untuk dipaksa PCR."
"Oh iya,
bapak mana? Kok gak nyambut aku sih?" Tanyaku penasaran
"Bapak
sakit nak, tidak enak badan katanya." Jawab ibu.
"Hah?
Sekarang mana bapak?" Jawabku sambil berjalan menuju kamar bapak.
Langsung kupeluk
bapak yang sedang berusaha tertidur. Sambil menahan batuknya, bapak mencoba
bangun untuk membalas pelukanku.
"Bapak,
bapak sakit apa? Bapak mau apa?" Tanyaku khawatir.
"Bapak
kecapekan aja nak, dan sakit karena kangen putri bapak." Jawab bapak
sambil bercanda.
"Ih
bapakkk." Balasku
Setelah
rinduku terobati, aku langsung bergegas mandi dan bersih-bersih.
Segarnya
kota jember yang bikin aku rindu masa SMA. Apalagi kamarku yang sarung bantal
dan sprei berbeda warna yang bikin nyaman. Baru sebentar saja berbaring sudah
tertidur.
"Uhuk! Uhuk!
Uhuk!"
Bukan
terbangun karena alarm atau telpon dari via, tapi....
"Bapakkk!"
Aku langsung
bergegas ke kamar bapak.
"Bapak
minum dulu."
"Bapak
ayo kerumah sakit!"
"Ibu
obat bapak!" Kepanikanku membuat aku takut, cemas, khawatir tak teratur.
"Nak,
tenang, tenang." Tepukan di pundakku membuatku sedikit tenang.
"Ibu,
ayo bawa bapak kerumah sakit." Ajakku.
"Bapak
takut nak, takut positif covid." Kata bapakku.
"Pak,
tenang aja, corona itu gak ada, percaya aku deh." Kataku jengkel.
Ambulan
datang, membawa bapak, dibantu petugas tertutup plastik. Aku yang menenangkan
diri bahwa bapak tak akan kenapa-kenapa. Sesampainya dirumah sakit, bapak diswab
test dan kita menunggu beberapa waktu. Aku yang sudah tak sabar menunggu
bapak ditangani, berulang kali bertanya kepada petuga "Testnya
sudah keluar?"
Lagi-lagi
jawabannya ,"belum, mbak."
Hingga ada
seorang petugas dengan APD lengkap menghampiriku dan bapak. Dengan singkat,
"bapak positif." Tanpa berkata kata lagi, petugas langsung membawa
bapak ke ruang isolasi, tanpa aku.
Rasanya
campur aduk. Kaget, sedih, marah, tak percaya menghantui pikiranku.
Aku dan ibu
yang di vonis sebagai ODP, terpaksa harus isolasi dirumah, dengan kucilan
tetangga.
Tetap saja
kepercayaanku kepada corona tidak ada, dan percaya bahwa bapak tak kan kenapa.
Membiarkan
bapak sendiri di rumah sakit, membuat aku dan ibu selalu susah tidur dan tak
enak makan.
"Bu,
bapak ngapain ya?"
"Bapak
bisa sembuh nggak ya?"
"Bu,
bapak kenapa ya?"
“Bapak pasti
kuat kan, bu?"
Pertanyaan
itu yang selalu kutanyakan pada ibu.
"Bapak
cuma sakit biasa nak. Bapak kuat, bapak pasti sembuh. Bapak bisa kembali
kerumah ini lagi." Jawaban ibu yang menenangkanku padahal dalam hati ibu
juga muncul pertanyaan sepertiku.
Baru tiga
hari isolasi, sudah tak betah ingin melarikan diri. Semua sudah kulakukan agar
diri ini tidak bosan, sambil lalu membuang pikiran buruk tentang bapak.
"Kringgg,
Kringgg."
Telepon
dengan ringtone yang sama terus menghantuiku.
"Rumah
sakit." Itulah orang yang meneleponku.
Sudah biasa
ditelepon rumah sakit untuk mengabari kabar bapak. Tapi kali ini rasanya
berbeda. Getaran teleponku, bersaing dengan getaran jantungku.
Spontan aku lari
ke arah ibu, untuk menyuruhnya mengangkat telpon rumah sakit.
"Halo?"
Suara ibu lirih.
"Bu,
ini dari rumah sakit. Bapak tidak bisa diselamatkan, bu."
Tanpa
berkata-kata ibu langsung jatuh kepelukanku, berharap aku bisa menguatkan. Tangisanku
tak bisa tertahan. Melihat ibu memecahkan tangisan, ditambah suara ambulan yang
baru sampai.
Saat jenazah
bapak diturunkan, melihat bapak seperti kedinginan membuat aku membayangkan. Bapak
di rumah sakit sendirian, menemui malaikat izrail, dengan nafas yang terpenggal-penggal.
Langsung kusalahkan
diriku sendiri karena tak mempercayai corona itu nyata. Aku menyesal langsung
memeluk bapak saat itu. Aku menyesal tak memakai masker. Aku menyesal lebih
mementingkan make up-ku saat itu.
Ibu menyiapkan
kematian bapak sendiri. Tetangga menjauhi kami tanpa peduli dan simpati.
Andai aku
bisa memutar waktu, aku ingin bilang kepada diriku.
"Corona
itu ada dan tak mengada-ngada."
-----------------------------------------------
*)Penulis
merupakan siswa kelas sebelas di SMAN 1 Situbondo sekaligus salah satu redaktur
Cakanca.id.
2 Komentar
Salut punya generasi yg masih bisa meluangkan waaktu untuk menulis d tengah2 remaja digitalis yg lebih gemar buat konten unfaedah... Semoga bisa terus berkarya yg bermanfaat, mjd generasi digitalis yg idealis dn realistis...
BalasHapusMungkin di blog ini bisa dijadikan tempat curhat, dari berbagai persoalan yang tak menemukan jalan keluar, untuk sedikit bisa melepaskan beban yang seakan menghimpit pikiran, siapa tahu solusinya ada disini 😀
BalasHapus