Rabu, 17 Mei

Di sebuah perjalanan, sepasang kekasih itu tiba-tiba bertanya tentang kelanjutan hubunganku dengan si 'dia', yang juga salah satu teman baik mereka

Aku hanya bisa diam kebingungan harus menjawab apa. Seperti biasa, aku mematung dan tak mau menjawab pertanyaan itu. 

Lagi-lagi mereka mendesak dan menginginkan jawabanku dengan jujur tapi pikiranku langsung kosong saat itu, entah bagaimana. 

Saat sampai di rumah, aku kembali merenungi pertanyaan mereka dan mencoba menalar mengapa aku tak bisa menjawabnya. 

Sebenarnya Jawaban itu ada, namun tak muncul saat aku tak siap untuk mengungkapkannya, takut salah bicara, takut menyesal dengan apa yang nantinya terucap dikala terdesak. 

Bagaimana hubunganku? Entahlah aku tak bisa menjawab dengan pasti bagaimana hubungan ini berjalan. 

Bagiku yang tak punya pengalaman, aku terlalu takut untuk mengklaim hubungan kami menurut standart mereka. 

Mungkin bagi mereka, hubungan kami terlalu berjalan lambat seperti kura-kura yang sedang berjalan di tanjakan. 

Tapi bagiku, kami sedang beradaptasi dengan hubungan yang baru terjalin, pelan-pelan, hingga menjadi rasa nyaman. 

Mereka -sepasang kekasih yang bertanya itu, sempat mengatakan bahwa 'dia' memiliki trauma dengan perempuan di masa silam. 

Dari cerita itu, aku menyimpulkan bahwa 'dia' pun tengah berusaha pelan-pelan untuk menyembuhkan lukanya, dan aku tahu tak mudah untuk menyembuhkan luka yang terlanjur ada. 

Aku pun sama, meski lukaku bukan karena laki-laki. 

Mungkin dulu aku akan berkata, "aku punya prinsip nggak mau pacaran", saat ditanya tentang hubungan romantis. 

Biar kukatakan saja dengan tegas, aku seorang jomblo sejak lahir. 

Tapi sekarang aku sadar, prinsip itu bukan alasan sebenarnya aku tidak menjalin hubungan dengan seorang laki-laki. 

Ketika kupikirkan ulang, prinsipku itu terlahir dari trauma yang masih membekas. Bukan karena laki-laki, tapi keluargaku sendiri. 

Kiranya trauma itu tak perlu dijelaskan dengan detail, cukuplah tau sepotong kejadian bahwa karena suatu alasan aku sempat 'disidang' sekeluarga dan itu membuatku takut berhubungan dengan lawan jenis. Takut ketika aku terlihat dekat dengan laki-laki, kejadian itu kembali terulang. 

Pada akhirnya aku selalu gelisah ketika berhadapan dengan laki-laki. Jangankan berbicara, menatap bahkan menganggap mereka ada saja seperti sebuah kesalahan. 

Kejadian itu yang membuatku skeptis terhadap keberadaan laki-laki dan selalu menolak perasaan romantisme yang terkadang tak terkendali. 

Kini perlahan traumaku memang membaik, aku tak lagi gemetar berbicara dengan laki-laki, tidak lagi gelisah ketika berhadapan dengan mereka. 

Namun dasarnya tetap sama, aku seperti kembali ke awal lagi, kembali belajar untuk membuka hati, belajar untuk menerima keberadaan mereka, belajar mengendalikan diri ketika berhadapan, dan bahkan diamku masih melekat --ada rasa takut untuk memulai percakapan. 

Dan mungkin begitu yang juga dirasakan olehnya dengan traumanya. 

Jadi ini jawabanku pada sepasang kekasih yang bertanya; biarkan kami pelan-pelan mengenal, biarkan kami beradaptasi dengan hubungan kami dan sama-sama menyembuhkan diri. 

Kepercayaan tak bisa langsung instant, kami memang butuh dukungan dan dorongan namun standart kalian tak bisa dipaksakan. 

Biarkan kami menjalaninya dengan cara kami. Karena masing-masing dari kami mungkin masih denial terhadap kepercayaan kami sendiri.[]