oleh : Alifa Faradis*

Katanya, dalam menjalani hidup, kau harus punya mimpi di masa depan. Sejak kecil kau diajarkan untuk bermimpi dan membayangkan bagaimana ketika mimpi itu terwujud. Guru-gurumu pun selalu bertanya tentang cita-cita, sebutan lain untuk mimpi-mimpi itu. Kau selalu ditanya, ketika besar nanti kau akan jadi apa? Pikiran masa kanakmu pasti berfikir tentang sebuah profesi karena guru-gurumu mengarahkan pada hal itu padahal mimpi adalah suatu hal yang tak terbatas  yang hanya sekedar ditentukan dengan sebuah pekerjaan seseorang. Kau boleh bermimpi menjadi orang hebat, atau memiliki sesuatu yang mutakhir atau bermimpi untuk menggapai sesuatu yang tak pernah orang lain terpikirkan; tinggal di bulan, misalnya. Hal itu wajar saja dan sah-sah saja untuk menjadi sebuah impian di masa depan. Kenapa tidak? Hal-hal mustahil di masa lalu, bisa menjadi hal biasa di masa depan, bukan? Tapi saat itu, pemikiran kanak-kanakmu masih terbatas dan sederhana. Kau hanya membayangkan betapa senangnya menjadi seorang ustadzah yang mengajar tentang agama kepada anak-anak yang kau asuh nanti. Dan betapa mudahnya kau akan mewujudkannya. Sesederhana itu. 

"Apa cita-citamu, nak?"

Setiap kali pertanyaan itu muncul, kau akan dengan lantang menjawab;

"Aku ingin jadi ustadzah" 

Lalu gurumu itu akan memuji-mujimu betapa mulianya cita-cita itu. Tentu saja dengan teman-temanmu yang lain, guru-guru akan terus memuji apapun cita-cita anak itu selama berada dalam batas wajar. Yah, sesederhana itu. 

Mungkin saat itu kau menyadari kemampuanmu yang hanya sebatas itu. Kau takut bermimpi terlalu tinggi karena khawatir kau tak akan mampu merealisasikannya. Karena di antara yang lain, kau hanyalah sesosok bocah perempuan yang biasa-biasa saja. Tak ada yang spesial dalam dirimu. Kau bocah lemah, cengeng dan terlalu pendiam dibandingkan teman sebayamu. Bahkan di kelas, kau bukanlah bocah pintar yang selalu mendapatkan nilai tertinggi atau minimal tiga besar di sekolahmu. Catatan raportmu selalu kosong tanpa ada sebuah tulisan dengan kata 'ranking' di sana. 

Sederhana dan se-biasa itu hidupmu saat bocah. 

Tapi dari hal sederhana itu, kau termasuk orang yang rajin dan sangat penurut dengan orang tua. Bahkan saat teman-temanmu pergi bermain entah kemana, kau tak pernah ikut jika orang tuamu tak mengizinkan. Kau lebih memilih bermain sendirian daripada menentang. Bukannya kau takut, tapi kau hanya tak ingin membuat masalah yang akan membuatmu tak nyaman. Kau bukan pemberontak dan tak tertarik dengan hal-hal pemberontakan masa kanak-kanak sebab kau hanya ingin menjalani hidupmu dengan tenang. Yah, begitulah masa kanak-kanakmu yang terlalu biasa saja dan membosankan. Tak ada tantangan. 

Kini saat telah dewasa, kau sadar bahwa apa yang kau tuai adalah hasil dari apa yang kau tanam. 

Namun ada satu hal menarik saat kelulusanmu di masa bocah. Kau yang tak pernah mendapat ranking di kelasmu tiba-tiba saja menjadi lulusan terbaik di sekolah. Nilaimu berada di atas nilai teman-temanmu. Kau mendapatkan ranking satu di ujian nasional yang telah kau tempuh. Tentu saja teman-temanmu kaget dan tak percaya dengan hasilnya. Semua bertanya-tanya, 

"kenapa bisa?"

"Apa triknya?"

"Sekolah kita sedang tak bercanda bukan?"

Begitulah respon teman-temanmu ketika selesai diumumkan siapa juara satu. 

Kau pun bertanya-tanya, kenapa aku? Pikirmu. 

Sejujurnya kau senang bisa membuktikan prestasimu di saat-saat terakhir tapi di atas semua itu kau lebih merasa tak percaya diri bahwa kau mampu melampaui mereka. 

Sebenarnya kau saat itu tak menyadari bahwa kau telah berusaha lebih keras dibanding siapapun untuk mendapat predikat lulus. Kau berusaha belajar saat kau sebenarnya belum paham makna belajar yang sebenarnya. Yang kau pikirkan saat itu, kau hanya ingin lulus dengan nilai yang memuaskan saja meski tak mendapat predikat nilai tertinggi di sekolah. Bahkan kau sempat menjadi korban tabrak lari saat kau berangkat les ke sekolah pada hari jumat siang karena terburu-buru ingin cepat sampai hingga tak memperhatikan jalan. Untung saja kau tak apa-apa meski mengalami luka, bahkan di tengah rasa sakitmu yang luar biasa, kau bangkit sendiri sambil cengengesan di saat orang-orang panik berlarian.

"Kurang ajar pengemudi itu, masa nggak punya rasa tanggung jawab sudah nabrak anak orang" Sebagian mengumpat karena kesal melihat bocah sepertimu mengalami kejadian seperti itu. Sedangkan orang yang menabrakmu malah terus melaju tanpa menengok bagaimana keadaanmu. 

Bagimu, itu bukan apa-apa. Semangatmu itulah yang membuat rasa sakit menjadi tak terasa, padahal kau melihat dengan jelas ekspresi orang tuamu yang sedang panik dengan keadaanmu. 

Kejadian itu merupakan hal luar biasa yang pertama yang kau alami sebab untuk pertama kalinya, teman-temanmu mengkhawatirkanmu hingga berbondong-bondong menjengukmu di rumah setelah beberapa hari sepulang sekolah. Mereka memang sudah merencanakannya bahkan membawakanmu buah tangan dari hasil iuran. Saat itu, orang tuamu tak ada jadi kau berinisiatif untuk menjemput ibumu yang sedang bekerja di rumah tetangga dengan langkah kaki yang terpincang-pincang sebab luka yang belum mengering. Tentu saja orang-orang kaget karena kau yang belum sembuh benar malah pergi sendiri untuk sekedar menyampaikan bahwa ada teman-temanmu di rumah. 

"Mau kemana?" Seseorang yang kau temui di jalan bertanya. 

"Aku mau jemput ibu. Teman-temanku datang menjenguk jadi aku harus jemput ibu untuk memberikan mereka hidangan" Jawabmu sekenanya

"Astaga, kenapa harus kau yang menjemputnya sendiri? Kau masih sakit begitu. Nanti lukamu tambah parah" Kau hanya cengengesan mendengarkan dan terus melangkah menuju tujuan. 

Saat sampai, kau kembali disambut dengan ekspresi terkejut dari orang-orang. Ah, sebenarnya kau tak suka dengan tatapan seperti itu. 

"Loh, kenapa kau kesini? Kau kan sedang sakit" 

"Aku mau jemput ibu, dirumah ada teman-teman yang sedang menjengukku" Jawabmu sekenanya. 

"Ya sudah tunggu sebentar, akan ku panggilkan."

Kau menunggu. Sama seperti yang lain, ibumu terkejut melihatmu datang. Ia kemudian menggandeng tanganmu untuk pulang. 

"Harusnya kau suruh salah satu temanmu saja untuk menjemput ibu, bukannya malah kesini sendiri. Kakimu kan sedang sakit" 

"Tak apa-apa, aku baik-baik saja, bu"

Sesampainya di rumah, kau disambut teman-temanmu yang sudah menunggu dan berbincang-bincang bersama mereka sambil memakan hidangan yang disediakan ibu. Di saat itu, kau merasa begitu terharu karena mereka juga mengkhawatirkan keadaanmu. 

"Teman-teman, terimakasih sudah datang" Katamu saat mereka pamit pulang. 

"Sama-sama. Kau harus cepat sembuh karena sebentar lagi ujian kelulusan akan di mulai" Kau mengangguk sekedarnya. 

Hari-hari kemudian berlalu. Kau pun sudah mulai kembali ke aktivitas sekolah seperti biasa hingga musim ujian hampir tiba, kau diajak silaturahmi ke seorang kiai yang sudah sangat dekat dengan keluargamu. Mereka meminta amalan khusus kepada beliau agar kau bisa menjalani ujian dengan sebaik-baiknya. Dengan raut berwibawa, beliau menyampaikan sebuah wejangan setelah memberikan sebuah amalan kepadamu. 

"Nak, amalan ini hanya sebuah ikhtiar. Yang terpenting dari semuanya adalah usaha. Kau akan menjalani ujian nasional, usahamu ya harus belajar. Nggak ada ceritanya kau di berikan amalan lalu pensilmu jalan sendiri ke jawaban yang benar. Kau harus percaya diri dengan kemampuanmu dan yang lebih penting lagi, serahkan hasilnya pada Tuhan. Mudah-mudahan ujianmu nanti lancar ya"

Kau mengangguk-anggukkan kepala sok paham. Bagimu yang masih bocah, kau akan selalu menuruti apa kata orang dewasa selama kau mampu melakukannya. Akhirnya kau pulang dengan menggenggam sebuah pemikiran, bahwa jalan yang kau tempuh bukanlah jalan yang mudah. 

Setelah dewasa, kau baru menyadari bahwa hasil yang baik berasal dari usaha terbaik. Lalu cita-cita sederhanamu itu perlahan kau naikkan ke tingkat yang lebih tinggi dari sekedar mimpi. Kau percaya, mimpi adalah proses dari pencapaian yang akan kau dapatkan dengan usaha maksimal, bukan hanya sekedar angan tanpa tujuan. 

Selamat bermimpi, semoga kau tak lupa untuk terbangun lagi.[]