oleh :  Wilda Zakiyah* 

Lima puluh enam detik yang berkesan, angin yang membawa ombak pantai ke tepian, burung sore yang pulang kembali ke sarang, senja yang merangkak tenggelam, dan senyummu yang melebihi itu semua.

Saat aku memikirkan banyak sekali kerumitan akhir-akhir ini, kamu menepuk pundak pelan sambil berkata "Mau melihat senja?", kamu tahu senja selalu menakjubkan, selalu berhasil membuat terpukau dan sejenak menghilangkan kekalutan isi kepala. Di perjalanan kamu berhenti di tempat jual kue basah, kamu membeli beberapa kue untuk dibawa melihat senja. 

Air laut yang masih surut, matahari masih sedikit tinggi, ada banyak remaja bermain volly pantai, ada yang berenang, ada nelayan dengan jaringnya, ada yang duduk saja sambil menikmati ikan bakar, ada yang menyeruput es degan, juga ada aku dan kamu.

Aku bercerita banyak hal, mulai dari ramainya kepala yang berteriak ingin diselamatkan, sampai persoalan remeh temeh tentang mengapa kue sawut diberi nama sawut mengapa bukan sewot atau sambat, atau barangkali yang lebih keren diberi nama soswit (so sweet).

Entahlah, duduk dengan begini saja rasanya sudah sempurna.

"Dik, sudah senja", aku menoleh. Benar saja, senja berhasil membuat aku mematung. Memperhatikan lamat-lamat, sesekali berkedip, dan mengambil ponsel untuk mengabadikan kecantikannya. Aku memotret senja, dan kamu memotret aku. Katanya " Senja masih kalah, lebih cantik Adik", begitu jawabmu saat ditanya kenapa aku yang dipotretnya dan bukan senja indah itu.

Ketahuilah mas, aku ingin menjelaskan betapa aku bersyukur dipilih olehmu, dan ada banyak hal yang ingin kuceritakan tentangmu pada semesta. Sayang sekali, Kata-kata di dunia terlalu terbatas untuk mendeskripsikan tentang kamu.

Senja tidak lagi percaya diri jika kamu yang jadi perbandingannya.