Ilustrator : Aulia Silmi*


Oleh : Alifa Faradis*

Namanya Mako, bocah laki-laki paling bandel yang pernah kau kenal. Bocah laki-laki itu seakan menjadi pemimpin kenakalan nomor wahid saat masa-masa kau sekolah. Tak ada yang berani menentangnya meski ketua kelasmu sekalipun yang terkenal berwibawa. Bahkan guru-guru pun angkat tangan terhadap kelakuannya. Tak ayal, bocah laki-laki itu selalu melakukan hal-hal di luar nalar. Sering kali melakukan kudeta dan membentuk pasukan pemberontakan. Terkadang ia mengunci kelas dan membuat onar di dalamnya. Ia juga sering kali menindas teman-teman yang terlihat lemah.

Kau pun pernah menjadi bulan-bulanannya. Biarpun kau seorang perempuan, ia tak peduli jika dirasa kau layak untuk dibully. Kau yang saat itu adalah seorang yang pendiam hanya menurut saja melakukan apa yang disuruh meski tak masuk akal. Menjadi objek yang dilempar bola kasti, misalnya. Kau diharuskan menghindar jika tak ingin terkena lemparan bola itu. jika tidak, tamatlah riwayatmu. Yah, kelakuannya memang benar-benar keterlaluan mengingat saat itu kalian masih bocah-bocah yang baru menginjak usia awal belasan tahun.

Awalnya dia bukan teman sekelasmu, tapi sudah dua tahun dia tinggal kelas sehingga mau tak mau kalian bertemu di kelas yang sama di tahun itu. Wajar saja jika bocah laki-laki itu merasa menjadi penguasa. Mako seperti mimpi buruk bagimu.

Suatu hari di luar sekolah, kau tak sengaja melihatnya di seberang jalanan gang sempit dekat pasar. Saat itu kau baru pulang dari warung karena disuruh membeli bumbu dapur. Awalnya kau mencoba tak peduli, tapi sesuatu mengusikmu. Kau melihatnya seperti sedang beradu mulut dengan seseorang lalu setelah itu ia dipukuli oleh orang dewasa tersebut dan membuatmu syok karena pertama kalinya kau melihat kekerasan di depan matamu sendiri. Kau ingin berlari ke arahnya dan menghentikan kejadian itu tapi rupanya kau malah terpaku hingga sosok dewasa itu meninggalkan Mako setelah babak belur serta meraung-raung kesakitan.

"Bocah sialan! Kerjanya cuma nyusahin orang tua! Bangst!" Samar-samar kau mendengar umpatan kasar sebelum orang dewasa itu berlalu sedangkan Mako meringkuk gemetaran sambil menangis sesenggukan. Dari kejadian itu, kau tahu bahwa hubungan ayah-anak itu tak baik dan kenakalan Mako bisa jadi disebabkan oleh didikan orang tuanya yang kasar dan suka main tangan. Rasa iba tiba-tiba menyusup di hatimu.

Setelah sadar dari keterpakuanmu, kau berlari menuju warung tadi untuk membeli plester luka sebelum kau menghampirinya.

"Kamu tak apa-apa?" Tanyamu dengan suara yang sedikit bergetar. Bagaimanapun bocah laki-laki itu adalah orang yang pernah membullymu di sekolah. Kau lihat ia cukup terkejut ketika tahu kau tiba-tiba muncul di hadapannya. Dengan kasar, ia memojokkanmu di tembok berlumut sambil menatapmu tajam.

"Apa kau lihat semuanya? Awas saja kalau kau menceritakan kejadian barusan di sekolah."

"A-aku cuma mau kasih plester. Lukamu harus cepat diobati biar tidak jadi infeksi" Suaramu tersendat-sendat ketika berusaha menjelaskan. "Aku jan-janji tak akan cerita apa pun."

Setelah diam beberapa detik, ia melepaskan kungkungannya. Tanpa sadar kau bernapas lega lalu buru-buru membuka plester yang sedari tadi kau remas untuk di pakaikan pada luka di wajah bocah laki-laki itu. Namun sebelum kau berhasil meraih wajahnya, tangan Mako dengan cepat menghentikan pergerakanmu.

"Aku bisa sendi..."

"Kau akan kesulitan" Potongmu refleks. "Tak apa, tak ada salahnya dibantu, kan?" Kau kembali bergerak hati-hati. Selama kau melakukan pekerjaanmu, kau merasa gelisah karena tatapan bocah laki-laki itu mengawasimu, seakan kau adalah mangsa yang siap diterjang jika melakukan kesalahan.

"Selesai!" Tegasmu memberi alasan memutus tatapan itu. Kau hendak berlalu tapi rasanya ada sesuatu yang mengganjal saat kau melangkah menjauh. Ah, sial. Bahkan bocah laki-laki yang barusan kau tolong membiarkanmu pergi begitu saja tanpa berkata apa-apa. Setidaknya sepotong ucapan terima kasih untuk mengganti plester yang kau beli dengan sisa uang jajan yang kau sisihkan setiap harinya.

Namun hari-hari selanjutnya setelah kejadian itu, kau tak pernah lagi menjadi target bulan-bulanannya. Bahkan secara tak langsung bocah laki-laki yang sempat menjadi mimpi buruk bagi kelasmu itu, melindungimu. Ia selalu mengelak ketika teman-temannya ingin menyeretmu menjadi korban selanjutnya. Yah, setidaknya ada untungnya kau melakukan hal heroik macam drama-drama. Meski kau tak tahu ia melakukan itu karena kau telah mengobati lukanya atau karena ia hanya takut kau akan menyebarkan cerita kejadian yang tak sengaja kau lihat itu. Yang jelas, kisahmu selanjutnya tak berubah genre menjadi romansa yang berakhir saling jatuh cinta. Haha, hidup tak sepicisan itu, bukan?

 

 

____________________________


*) Perempuan yang sedang mencari ilmu sekaligus jodoh di kota budaya.