Ilustrator : Permata Kamila

oleh : Fata Pujangga* 

Berbicara perempuan kota dan perempuan desa, tentu juga bicara tentang kesetaraannya yang tidak kalah penting dengan wacana kesetaran laki-laki dan perempuan. Perempuan kota berpendidikan saling berdesakan menuntut kesetaraan perempuan dan laki-laki, serta sibuk bekerja demi kesejahteraan dirinya. Berbeda dengan perempuan desa, mereka sibuk memilih bibit-bibit unggul agar menghasilkan panen yang melimpah dan berkualitas, demi kesejahteraan bersama.

Hal itu menjadi alasan bagi saya, bahwa perempuan kota hidup dengan wacana, sedangkan perempuan desa hidup dengan tindakan. Kok bisa? Ya bisa! Tanpa perempuan desa, masihkah perempuan kota lantang bicara hahihu-hahihu?

Saya lahir dari rahim perempuan desa, cucu dari perempuan desa. Sejak saya bisa melihat wujud embah putri. blio lebih banyak menghabiskan waktunya di ladang. Blio sibuk memilih bibit, menanam, merawat tanaman, sampai memanen apa yang ditanamnya, mulai dari benih jagung, kacang pulung, kacang ijo, dan kacang-kacangan yang lain. Tak hanya itu, blio harus memasak di dapur untuk pembajak laki-laki di ladang.

Begitupun dengan ibu saya,  blio lebih banyak mengahabiskan waktunya ngurus sawah. Memilih benih padi, menanam padi, sampai memanen, ibu saya ikut berperan dalam proses itu. Pun ketika musim tanam cabe, ibu saya memilih pentolan-pentolan bibit cabe, menyemai, menanam, juga memanennya. Itulah perempuan desa, bisa menghasilkan cabe yang berkualitasn bukan cabe-cabean. Tampa embah saya di kampung, perempuan kota mau masak apa?

Nah, embah dan ibu saya tadi mungkin cukup menjadi gambaran perempuan desa. Barangkali kalau blio-blio dibekali dengan pendidikan yang ditenpuh di bangku-bangku kuliah, saya yakin mereka lebih kritis dari aktivis gender. Mungkin pertanyaan mereka seperti ini, apa sih yang kalian lakukan untuk negeri ini, pandai bicara atau berwacana saja? Saya, selain bisa memasak, bisa memproduksi bahan pangan secara mandiri loh, untuk dimasak sendiri, bahkan yang kalian masak di kota itu hasil produksi lahan saya. Soal pendidikan, saya juga bisa mendidik dan menyekolahkan anak, cucu. Apalagi soal akhlak, perempuan desa belum tergantikan.

Apalagi yang kurang dari perempuan desa? Makanya perempuan desa tidak sibuk dengan wacana kesetaraan laki-laki dan perempuan. Sebab kesetaraan laki-laki dan perempuan ada di desa.

Kesetaraan Perempuan Desa dan Perempuan Kota

Perempuan kota punya Iphone, sombongnya kebangetan, apatis terhadap lingkungan, ditambah sebagai tenaga pelengkap di birokrasi, atau pekerja kantoran, boro-boro nyapa duluan, disapa duluan kadang gak direspon (hehehe). Perempuan desa, tanahnya berhektar-hektar, tapi biasa saja,

Perempuan kota ditanya nama tetangganya yang rumahnya berjarak 100 meter sudah tidak tahu. Sedangkan perempuan desa, tetangga yang rumahnya berjarak 1 kilometer bahkan lebih, mereka masih saling kenal tetangganya. Sama lingkungan sosialnya saja tidak peduli, kok teriak-teriak kesetaraan ini dan itu.

Perempuan kota bisa ngidupin dirinya sendiri dengan modal pendidikannya, gayanya selangit, sedangkan perempuan desa bisa ngisi dapur-dapur rakyat dalam satu negara biasa saja. Perempuan desa mana lagi yang kalian dustakan?

Artinya dari semua itu, hari ini yang harus menjadi wacana besar adalah kesetaraan perempuan desa dan perempuan kota. Bagaimana perempuan desa mendapatkan kualitas pendidikan yang sama dengan perempuan kota, tanpa harus keluar dari desa. Kalau perempuan desa harus keluar dari desa untuk mendapatkan pendidikan yang lebih berkualitas, mereka akan terpengaruh dengan mindset dan perilaku perempuan kota.

Perempuan desa itu memiliki perilaku dan gaya hidup yang lebih ekonomis. Terkait hal itu dapat dibuktikan pada perempuan-perempuan desa, di mana perempuan desa tidak akan menjual semua hasil panennya, mereka akan menyimpan sebagaian hasil panennya di dapur (dapur orang desa lebar-lebar) atau di gudang, untuk keberlangsungan hidupnya ke depan, seperti padi, jagung dan hasil panen lainnya. Selain itu perempuan desa lebih suka berinvestasi, mereka akan lebih banyak membeli emas perhiasan, dan disimpan, daripada menghambur-hamburkan uang sekadar untuk gaya hidup.

Sedangkan perempuan kota cenderung berperilaku konsumtif, lebih mengutamakan gaya hidup. Nah, pengaruh perempuan kota akan menghilangkan perilaku ekonomis perempuan desa. Sedangkan perilaku ekonomis perempuan desa ini, dapat membantu pemerintah dalam menekan angka kemiskinan dan pengangguran, loh.

Maka dari itu, penting untuk menguatkan kesetaraan perempuan desa dan perempuan kota. Sebab, perempuan desa tanpa modal pendidikan yang tinggi dapat mengatur rumah tangga suatu negara bukan dengan wacana, melainkan dengan tindakan, apalagi diperkuat dengan pendidikan yang tinggi, sudah bisa dipastikan bisa ngatur rumah tangga dunia.

Bayangkan, bagaimana wujud sebuah bangsa, tanpa perempuan desa? Besar kemungkinan kita akan bergantung pada bangsa lain, lebih-lebih dalam urusan kebutuhan pangan.

Selanjutnya, saya hanya ingin menyampaikan, Selamat Hari Wanita Pedesaan Sedunia!

__________________________

*) Anak dari Perempuan desa Penulis Novel Melawan Kenangan, Buku Empat Bait untuk Tuhan, Buku Mimpi Negeri Revolusi, dan banyak esai-esai receh yang ditulisnya. Sosial Media IG, Tw, Fb, YT: Fata Pujangga, Web: fatapujangga.com.